Depok (ANTARA News) - Antropolog Islam Dr Arif Zamhari menilai fenomena komersialisasi agama atau agama diperjualbelikan untuk keuntungan semata tercermin pada tayangan-tayangan televisi seperti sinetron religius dan tayangan lainnya.
"Fenomena komersialisasi agama tercermin pada tayangan-tayangan televisi seperti sinetron religius," kata Arif di Depok, Senin.
Arif yang juga menjabat sebagai Direktur Pesantren Al-Hikam Depok mengatakan komersialisasi agama melebur menjadi komodifikasi agama.
"Ini tidak bisa dibenarkan dan harus dihentikan, karena hanya memanfaatkan secara bisnis semata," katanya.
Aktivis Nahdlatul Ulama (NU) tersebut mengakui dampak secara langsung yang bisa dirasakan masyarakat secara luas masih kurang, namun jangan dibiarkan begitu saja.
Komodifikasi agama Islam adalah komersialisasi Islam atau mengubah keimanan dan simbol-simbolnya menjadi komoditas yang dapat diperjualbelikan untuk mendapat keuntungan.
"Tayangan sinetron religi itu tidak memberikan dampak yang berarti bagi masyarakat karena tidak semuanya bisa dikatakan religius," ujar lulusan The Australian National University (ANU) ini.
Dikatakannya dalam tayangan pada media elektronik saat bulan puasa nilai keberagamaannya kurang begitu mendalam.
Dalam konsep pendidikan Islam seorang pengajar juga harus menjadi suri teladan yang baik. Padahal masyarakat luas mengetahui bagaimana kehidupan seorang artis dalam kesehariannya.
"Para pemaian sinetron tersebut sebaiknya menjadi suri tauladan dalam kehidupan sehari-hari," kata Arif Zamhari yang memperoleh penghargaan sebagai tokoh dunia dari Yale University Amerika Serikat.
Lebih lanjut enyoroti tayangan acara di TV menjelang buka puasa atau sahur, hanya bersifat hura-hura. Kalau ini dibiarkan bisa menjadi degradasi keluhuran nilai-nilai agama.
Ia menambahkan dalam materi penyampaian nilai-nilai agama seperti ceramah agama perlu ada kualifikasi lembaga khusus da'i, karena beberapa orang yang kurang paham agama Islam sudah memberikan materi di hadapan publik dan ini seharusnya tidak terjadi.
Menurut dia, mereka itu kurang kredibel dan harus ada proses kualifikasi dari lembaga khusus yang menanganinya.
"Mereka tentunya dijadikan panutan umat, maka harus benar-benar memahami agama," katanya. (F006)
Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2011