Terlalu sedih kalau mengingat tahun depan tidak ada lagi.

Manila (ANTARANews) - "Harry Potter and The Deathly Hallows bagian II" adalah epilog. Epilog bagi perang besar di Dunia Sihir. Epilog bagi perjuangan Harry Potter menyingkirkan musuh abadinya. Dan tentu saja epilog bagi ratusan ribu HP-fans (sebutan bagi para penggemar kisah tersebut) karena tak ada lagi film HP yang ditunggu tahun depan.

Setelah 10 tahun akhirnya perjuangan Harry Potter untuk mengalahkan Dia-Yang-Tak-Boleh-Disebutkan-Namanya usai sudah. Tidak ada lagi "Dark Lord". Tidak ada lagi para "Death Eaters". Pertempuran itu telah sampai di titik akhir kala sang pemenang berdiri tegak di reruntuhan Hogwarts School of Witchcraft and Wizardry pada 15 Juli 2011.

Tanpa sadar delapan film sudah dikemas untuk menghidupkan fantasi pengarang kenamaan Inggris, JK Rowling tentang petualangan seorang "half-blood" bernama Harry Potter di Dunia Sihir Inggris. Dan publik mau tak mau harus siap untuk mengucapkan selamat tinggal pada "The Golden Trio", Daniel Radcliffe (Harry Potter), Rupert Grint (Ronald Weasley) dan Emma Watson (Hermione Granger), seiring dilepasnya film terakhir.

Menengok kembali ke sepuluh tahun lalu, film terakhir ini terlihat bagai bumi dan langit dibandingkan dengan film pertama, "Harry Potter and the Sorcerer`s Stone". Apabila film pertama hanya bertutur mengenai rasa ingin tahu si kecil Harry tentang dunia barunya, maka film terakhir dipenuhi dengan perjuangan "The Chosen One", Harry Potter, untuk menjaga kelangsungan dunia sihir.

"Harry Potter and The Deathly Hallows bagian II" yang berdurasi 2 jam 10 menit itu dibuka dengan adegan Dark Lord mencuri Elder Wand dari makam Dumbledore diiringi bunyi petir menggelegar. Sementara Harry dan para anggota the Order berlindung di Shell Cottage sebelum melanjutkan perjalanan mencari empat Horcrux yang tersisa untuk mengalahkan Voldemort.

Setelah hampir seluruh bagian yang lambat dan penuh emosional dari buku terakhir Rowling dituangkan di film ketujuh "Harry Potter and The Deathly Hallows bagian I" maka bagian kedua memberikan jawaban dan alasan untuk semua peristiwa yang telah terjadi sebelumnya.

Dalam film itu, para penonton (yang tidak membaca bukunya) akan mengetahui mengapa Harry dapat membaca pikiran Voldemort, mengapa Severus Snape membunuh Dumbledore, dan mengapa Elder Wand tidak mau tunduk pada Voldemort.

Selain membawa pesan moral konvensional dari setiap saga/epic yaitu kebaikan akhirnya harus menang, "Harry Potter and The Deathly Hallows bagian II" juga menunjukkan bahwa tidak ada satu pahlawan pun yang lepas dari jebakan rasa egoisme saat memperjuangkan kebenaran. Sebut saja pertempuran batin yang dialami Dumbledore, Severus Snape, Ron Weasley dan bahkan Harry Potter sendiri.

Sutradara David Yates, yang seorang "muggle", pun terlihat piawai mengemas seluruh jawaban itu dalam suatu mozaik nostalgia yang apik. Suatu bonus tersendiri untuk dan hanya untuk para HP-fans yang sebagian besar diantaranya ikut tumbuh bersama dengan karakter-karakter yang keluar dari kepala Rowling itu.

Ambilah contoh mengenai dialog antara Harry dengan Mr.Olivander, sang pembuat tongkat sihir. Para HP-fans tentu masih ingat dengan jelas bagaimana kekacauan yang timbul di toko Mr.Olivander saat si kecil Harry untuk pertama kali membeli tongkat sihirnya, pada film pertama.

Dalam film terakhir ini, Mr.Olivander yang terluka setelah disiksa oleh Voldemort kembali mengingatkan bahwa setiap tongkat sihir memilih tuannya, dan bukan sebaliknya.

Ada lagi adegan dimana Ron Weasley yang telah beranjak dewasa berlari dan berteriak ketakutan dikejar api yang diciptakan oleh Gregory Goyle di Ruang Peralatan. Adegan yang hampir sama dapat ditemui di film kedua "Harry Potter and the Chamber of Secret" saat si kecil Ron melihat laba-laba raksasa.

Detil kecil itu menunjukkan keseriusan Yates untuk menjadikan film terakhir itu sebagai suatu epilog yang indah khusus untuk semua HP fans karena potongan-potongan kecil itu sudah tentu tidak akan diketahui oleh mereka yang tidak mengikuti seluruh film dan membaca buku HP.

Sebagaimana lazimnya film terakhir, Yates juga memasukkan sejumlah adegan kilas balik --saat patronus Severus Snape yang identik dengan Lily Potter membantu Harry menemukan pedang Gryffindor atau percakapan rahasia antara Severus Snape dengan Dumbledore tentang nasib Harry-- dalam film tersebut, yang kebetulan memang juga terdapat dalam kisah aslinya di buku.

Secara keseluruhan Yates dan penulis naskah Steve Kloves memang mengopi buku aslinya, kecuali keputusannya untuk melibatkan Blaise Zabini dalam insiden di Ruang Peralatan dan mengganti karakter Vincent Crabbe dengan Gregory Goyle. Yates terpaksa melakukan itu setelah Jamie Waylett, pemain Vincent Crabbe dipecat karena dugaan penggunaan obat terlarang.

Satu-satunya kegagalan Yates yang tampak menonjol adalah kegagalannya menghidupkan pesan yang ditulis Rowlings dalam bukunya pada adegan 19 tahun kemudian di King Cross. Dalam film tersebut peristiwa di King Cross tampak hanya suatu tempelan yang tidak terlalu penting. Para penonton kehilangan makna besar dari anggukan kepala Draco Malfoy pada Harry Potter saat mereka melepas anak-anaknya ke Hogwarts.

Kemenangan atas Kehilangan

Berbeda dengan bagian pertama, di bagian kedua ini adegan-adegan pertempuran antara pasukan Death Eaters dan Order of the Phoenix terjadi dengan sangat cepat. Hampir setiap dua menit adegan berpindah dari satu lokasi pertempuran ke lokasi yang lainnya. Yates membuat para penonton menahan nafas karena belum lagi usai menikmati ketegangan si kembar Weasley menghadapi para Death Eaters, adegan telah berpindah ke perjuangan Neville Longbottom menghindari para Death Eaters di jembatan Hogwarts, atau upaya hidup dan mati Ron dan Hermione keluar dari Gringotts.

Kisah pencarian dan penghancuran empat Horcrux yang tersisa, piala Helga Hufflepuff, mahkota Rowena Ravenclaw, Nagini dan Harry Potter, pun berlangsung dengan cepat. Dalam hal ini, Yates terlalu percaya diri dengan mengasumsikan bahwa seluruh penonton adalah HP-fans yang telah hafal luar kepala kisah tersebut sehingga tidak ada penjelasan yang memadai dari tiap-tiap Horcrux, selain special efek luar biasa yang digunakan untuk menggambarkan pencarian dan penghancuran masing-masing benda itu.

Warner Bros tampaknya belajar dari kesalahan di "Harry Potter and Half Blood Prince" yang minim spesial efek sehingga terkesan kurang sentuhan "sihir".

Selain pertempuran satu lawan satu Harry Potter dengan Dark Lord, adegan saat Minerva Mcgonagall membangunkan seluruh penghuni Hogwarts, termasuk para hantu, lukisan dan patung-patung batu, guna bertempur pun merupakan satu dari sekian adegan yang indah dan layak dinanti.

Jauh sebelum film kedua ini diluncurkan, satu pertanyaan besar yang menghantui benak publik (terutama pembaca setia seri HP) adalah apa kesan yang akan ditinggalkan oleh film itu mengingat selain kemenangan besar The Order, dalam seri terakhir itu juga terjadi banyak kematian tokoh-tokoh utama.

Apakah Yates akan membiarkan publik mengingat "Harry Potter and The Deathly Hallows bagian II" sebagai sebuah film dimana Fred Weasley meninggal, sebagaimana publik mengingat "Harry Potter and The Globet of Fire" sebagai film dimana Cedric Diggory meninggal?

Jawabnya ternyata tidak. Yates sukses mengadaptasi buku terakhir dari seri HP itu sehingga publik hanya akan mengenang film terakhir itu sebagai saat kejatuhan Dark Lord.

Untuk memberikan kesan "epilog" yang kuat dan menghindarkan kemenangan Harry Potter dari terkubur kesedihan mendalam akibat kematian sejumlah karakter inti, Yates sama sekali tidak menggambarkan kematian para pahlawan tersebut.

Dalam film yang hampir seluruh adegannya berlangsung dalam suasana gelap itu, tidak akan didapati saat-saat Fred Weasley ataupun pasangan Lupin meninggal, yang ada hanyalah adegan tidak lebih dari tiga menit yang menggambarkan mereka dibaringkan di Howgarts. Suatu potongan adegan yang kemudian segera berpindah ke sorak sorai warga Hogwarts menyambut kemenangan besar mereka.

Air mata penonton mungkin justru tumpah ketika mengikuti perjalanan Harry Potter membaca ingatan Severus Snape melalui pensieve. Suatu kisah yang memakan hampir sepersepuluh film.

Euforia Mendunia

Dengan dilepasnya film terakhir itu maka kini seri HP layak disandingkan dengan sejumlah seri yang lain misal The Lord of The Ring. Film tersebut adalah film berseri yang merupakan adaptasi dari buku dan terbilang sukses menjaring para pembaca bukunya. Tidak semua film mampu menyamai atau bahkan menggungguli kesuksesan bukunya.

Seperti ketika mereka menantikan seri demi seri dari bukunya keluar, publik juga selalu tampak sangat bersemangat menantikan film HP keluar setiap tahunnya.

Khusus untuk film terakhir kabarnya para HP-fans di seluruh dunia khusus memesan tiket jauh-jauh hari sebelumnya untuk menjadi yang pertama menyaksikan film itu dan turut menjadi bagian dari sejarah.

Jesselle Villegas (21), seorang HP-fans di Manila, Filipina mengaku memesan tiket "Harry Potter and the Deathly Hallows bagian II" itu tiga minggu sebelumnya. Ditemui seusai menyaksikan tayang perdana film itu, gadis yang tumbuh besar bersama para karakter dalam buku Rowling itu mengaku sangat puas.

"Ada banyak pihak yang menyebut film ini terlalu gelap. Tapi saya tidak peduli, saya sangat menyukainya. Film ini hebat," katanya. Ia juga mengatakan bahwa adegan favoritnya dalam film itu adalah saat Ron dan Hermione akhirnya berciuman seusai menghancurkan Piala Helga Hufflepuff.

"Saya sangat suka kisah cinta mereka. Saya menunggu lama untuk melihat mereka berciuman. Adegan itu indah sekali," katanya sambil tersenyum.

Kalimat Jessele itu dibenarkan oleh rekannya Verns Joven. Ia juga mengiyakan bahwa adegan tersedih adalah "flashback" kisah Severus Snape dan Lily Evans.

Sementara itu Phuong Bui (27), seorang warga Vietnam yang menyempatkan diri menyaksikan film tersebut di salah satu mall terbesar di Manila City di sela-sela jam kuliahnya, menilai bahwa Yates mengakhiri seri panjang HP dengan manis.

"Saya membayangkan apa jadinya jika film ini `diremake` 10 atau 20 tahun lagi. Semoga saya juga punya kesempatan untuk menyaksikannya saat itu," katanya.

Sekalipun mengatakan bahwa ia berharap ada lebih banyak special efek, Phuong tampak enggan meninggalkan studio IMAX Mall of Asia saat film itu telah selesai diputar.

"Terlalu sedih kalau mengingat tahun depan tidak ada lagi," katanya. Apa yang dirasakan oleh Phuong juga menghinggapi para pemain utama HP.

Daniel Radcliff kepada media menjelang premier "Harry Potter and The Deathly Hallows bagian II" di Trafalgar Square London mengatakan bahwa saat terakhir pengambilan gambar film itu seluruh kru dan pemain menitikkan air mata. "Semua sangat terpukul. Ini adalah sangat sangat menyedihkan."

Emma Watson, Rupert Grint dan bahkan JK Rowling pun berbagi kesedihan dan semangat yang sama seiring berakhirnya seri itu. Menurut Emma Watson, mengakhiri seri panjang HP adalah suatu pengalaman yang menyedihkan sekaligus menyenangkan.

Pada 15 Juli 2001 seiring kejatuhan sang penguasa kegelapan, seluruh penghuni dunia sihir Inggris pun mengucapkan terima kasih dan salam perpisahan kepada para muggle. "Thank You and Good Bye," kata mereka atas kesetian para muggle di seluruh dunia.
(G003)

Oleh Gusti Nc Aryani
Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2011