Purwokerto (ANTARA) - Dalam penanganan pandemi COVID-19 termasuk varian Omicron, perlu adanya penjelasan komunikasi risiko yang baik, jelas, transparan dan berdasar data tentang potensi penularan penyakit hingga langkah antisipasinya.
Kendati demikian, komunikasi risiko perlu dilakukan dengan terukur dan tepat sasaran serta sesuai pedoman agar dapat berjalan sesuai target, yakni meningkatkan kewaspadaan di tengah masyarakat tanpa perlu panik.
Seluruh pelaksana komunikasi baik pada tingkat pusat hingga daerah perlu memiliki kemampuan untuk merencanakan dan melaksanakan komunikasi risiko karena dapat membantu kesiapan seluruh pihak, mulai dari pemerintah hingga masyarakat dalam menghadapi krisis kesehatan.
Barbara Reynolds, seorang spesialis komunikasi risiko bersama Matthew Seeger seorang akademisi dari salah satu universitas riset di Amerika Serikat dalam "Crisis and Emergency Risk Communication: 2012 edition" menyebutkan bahwa dalam komunikasi risiko, komunikator atau pengirim pesan diharapkan akan dapat memberikan informasi yang tepat kepada publik mengenai suatu risiko serta faktor-faktor yang terkait dengan risiko di sekitarnya.
Tujuan komunikasi risiko adalah agar publik dapat mengambil keputusan untuk melakukan perilaku menghindari atau mengelola risiko tersebut untuk melindungi dirinya dan orang lain di sekitarnya.
Ketepatan waktu komunikasi risiko sangat diperlukan guna meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat pada saat yang tepat tanpa perlu merasa panik. Selain itu juga untuk meminimalisir disinformasi serta hoaks.
Koordinator Program Studi Magister Ilmu Komunikasi Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Dr. Edi Santoso mengatakan pengelolaan komunikasi risiko yang jelas dan tegas dari pemerintah kepada publik sangat diperlukan di tengah kondisi pandemi COVID-19, termasuk juga varian Omicron yang dikhawatirkan memiliki tingkat penyebaran yang lebih cepat.
Jelas artinya berbasis data, transparan dan komprehensif, sementara tegas berarti kebijakan yang konsisten dan terukur. Dengan demikian dapat menjadi acuan bersama mulai dari pemerintah di tingkat pusat dan daerah hingga masyarakat dalam rangka mendukung penanggulangan krisis kesehatan.
Menurut dia, dalam mengelola komunikasi risiko dibutuhkan informasi yang terus dimutakhirkan dan berkesinambungan, dengan demikian peran juru bicara memang sangat diperlukan untuk menjadi sumber utama dalam memberikan informasi seputar pandemi COVID-19.
Peran tersebut, kata dia, harus terus diperkuat guna mengimbangi banyaknya informasi yang tersebar di jejaring media sosial tentang pandemi. Ketepatan dan kecepatan informasi dari juru bicara sangat diperlukan guna mencegah peredaran hoaks dan informasi salah yang dapat meresahkan masyarakat.
Dalam istilah yang lebih generik dan dalam perspektif komunikasi, rumor yang berisikan informasi yang salah merupakan "musuh" yang perlu dikendalikan agar tidak makin berkembang dan meluas.
Edi mengatakan, Variabel rumor sendiri terdiri dari urgensi isu, sumber informasi dan aktor yang terlibat di mana semakin penting sebuah isu maka semakin cepat rumor meluas. Selain itu, semakin melibatkan orang penting, semakin cepat juga rumor berkembang.
Bahkan, semakin tidak jelas sumber informasi maka sebuah rumor akan semakin liar. Karenanya pengendalian yang tepat, cepat dan terukur sangat diperlukan.
Misalkan, model penyebaran informasi melalui juru bicara satu pintu merupakan suatu langkah tepat yang sudah dilakukan pemerintah untuk mengendalikan rumor. Kendati demikian, penerapan model ini perlu terus diperkuat, jangan sampai kendur.
Irama pemutakhiran data perlu terus dijaga agar masyarakat selalu mendapat informasi terbaru dari sumber-sumber terpercaya. Terlebih lagi untuk mengimbangi informasi seputar pandemi yang sangat dinamis yang beredar di tengah-tengah masyarakat.
Dalam buku pedoman tentang komunikasi risiko yang dibuat Kementerian Kesehatan terdapat kutipan dari World Health Organization (WHO) mengenai lima prinsip dalam komunikasi risiko yakni kepercayaan, transparansi, mengumumkan lebih awal, mendengarkan dan juga merencanakan.
Dari situ perlu digarisbawahi bahwa komunikasi risiko untuk penanggulangan krisis kesehatan perlu direncanakan, berdasarkan fakta-fakta yang empiris dan ilmiah. Dengan demikian fungsi komunikasi risiko untuk memberikan edukasi dan informasi serta menyarankan kepada masyarakat mengenai tingkah laku pencegahan dalam merespons adanya ancaman bahaya termasuk krisis kesehatan dapat berjalan dengan optimal.
Baca juga: Pasien Omicron pertama di Sulsel meninggal dunia
Baca juga: PM Selandia Baru peringatkan soal lebih banyak varian COVID pada 2022
Makin intensif
Direktur Pascasarjana Universitas YARSI yang juga pernah menjabat sebagai Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara Prof. Tjandra Yoga Aditama juga mengingatkan hal senada yakni mengenai pentingnya komunikasi risiko dalam merespons tren peningkatan kasus COVID-19 beberapa waktu belakangan ini.
Dia mengingatkan bahwa komunikasi risiko ke seluruh masyarakat perlu terus diintensifkan, bukan saja untuk memberi pemahaman tentang program yang ada tetapi juga untuk membuat masyarakat agar tetap waspada tetapi juga tidak perlu panik yang berlebihan.
Penjelasan komunikasi risiko yang baik, jelas dan transparan serta berdasarkan data penunjang sangat diperlukan, terutama tentang risiko dan potensi penularan penyakit. Selain itu, pemerintah juga perlu terus menjelaskan kepada publik tentang situasi dan perkembangan kasus Omicron di dunia, hari per hari.
Hal ini sejalan dengan rencana implementasi komunikasi risiko yang dipaparkan Kementerian Kesehatan dalam buku pedoman komunikasi risiko untuk penanggulangan krisis kesehatan yakni melalui komunikasi publik melalui kehumasan atau pelibatan masyarakat.
Hal itu dilakukan untuk memastikan agar publik yang menjadi sasaran program dapat memahami kebijakan dan arahan yang dikomunikasikan, serta mau melakukan perubahan perilaku untuk menghindari dan mengendalikan risiko krisis kesehatan yang dihadapi.
Berdasarkan narasi di atas maka semua pihak diingatkan kembali untuk memperkuat lagi komunikasi risiko sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat agar terus dapat meningkatkan protokol kesehatan dan berperan aktif dalam program vaksinasi COVID-19.
Komunikasi risiko juga diperlukan selain untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai suatu risiko, namun juga mendorong masyarakat untuk tetap waspada dan tenang dalam waktu yang bersamaan, tidak panik berlebihan.
Mari bersama-sama waspadai COVID-19 termasuk varian Omicron, namun jangan panik, tetap perkuat protokol kesehatan serta segera daftarkan diri untuk mendapatkan vaksinasi COVID-19 bagi mereka yang belum.*
Baca juga: Fakta pasien Omicron: Gejala ringan dan masa rawat singkat
Baca juga: Mendagri memperpanjang penyesuaian PPKM Jawa-Bali antisipasi Omicron
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2022