Jakarta (ANTARA) - Direktur Eksekutif Research of Indonesian Association for the Study on Thoracic Oncology (IASTO), Prof. dr. Elisna Syahruddin, Sp.P(K), Ph.D. menyarankan orang-orang dalam kelompok berisiko tinggi terkena kanker paru melakukan skrining dan deteksi dini.
Skrining yakni upaya menemukan suatu penyakit sebelum menjadi kanker pada mereka yang belum bergejala namun masuk dalam kelompok berisiko tinggi terkena kanker.
"Salah satu usaha kita pada orang yang belum bergejala tetapi dia berisiko tinggi maka skrining dilakukan dengan CT-scan low dose setiap dua tahun sekali," ujar dokter yang berpraktik di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Persahabatan itu dalam konferensi pers yang digelar daring, Selasa.
Pada kasus kanker paru, kelompok berisiko yakni mereka yang berusia di atas 45 tahun dan termasuk perokok aktif serta pasif, berusia 40 tahun dengan riwayat kanker paru di keluarga serta bekerja di sektor bangunan semisal pekerja bangunan.
"Contoh yang sukses itu skrining pada kanker leher rahim atau serviks, belum mengarah ke kanker dengan demikian dihambat ke kanker. Usia lebih muda kalau punya faktor risiko dalam keluarga kita minta usia 40 tahun supaya kalau ketemu stagenya masih awal, pengobatan akan bagus jika dia mau diobati," papar Elisna.
Baca juga: Pentingnya perawatan holistik untuk penderita kanker
Baca juga: PPOK dan kanker paru bisa dicegah dengan berhenti merokok
Sementara itu, deteksi dini disarankan pada mereka dengan faktor risiko dan sudah bergejala. Merujuk pada Mayo Clinic, kanker paru-paru biasanya tidak menimbulkan tanda dan gejala pada tahap awal. Tanda dan gejala kanker paru-paru biasanya terjadi ketika penyakit sudah lanjut.
Tanda dan gejala ini antara lain batuk berkepanjangan, batuk berdarah, sesak napas, nyeri dada, suara serak, berat badan turun tanpa sebab jelas, sakit tulang dan kepala.
Elisna mengatakan, kanker paru termasuk penyakit dengan angka kematian tinggi, karena sebagian besar pasien baru berobat ke dokter dalam kondisi stadium lanjut.
"Pasien-pasien yang datang kan umumnya stadium lanjut. Kalau tidak diobati sangat pendek (harapan hidup). Tetapi kalau dia datang dalam arti bisa diobati maka akan memanjang (harapan hidup)," kata dia.
Pasien yang menjalani pengobatan kemoterapi dalam kondisi stadium 4 memiliki angka harapan hidup hingga 10 bulan ke depan. Sementara bila tak diobati, angka harapan hidupnya diperkirakan 3 bulan.
Terlambatnya pengobatan antara lain karena pada awal tak ingin diobati, percaya pada hoaks terkait pengobatan medis untuk kanker, hingga menunggu keputusan keluarga besar pasien ketimbang keinginan pasien sendiri.
"Kalau di luar (negeri) pasien punya hak diobati atau tidak. Di Indonesia putusan keluarga besar itu yang sering membuat terlambat," demikian kata Elisna.
Sekretaris Jenderal Perhimpunan Onkologi Indonesia (POI), dr. Evlina Suzanna, SpPA(K) menambahkan, kanker termasuk penyakit genetik yang kompleks, sehingga sangat sulit dirasakan pasien sangat terkena di awal, sehingga diperlukan alat canggih untuk deteksi dini, seperti low dose CT.
Di sisi lain, dokter yang juga aktif di International Cancer Center Rumah Sakit Dharmais itu menyarankan orang-orang menerapkan gaya hidup cegah kanker seperti pola makan alamiah tanpa pewarna, perasa dan pengawet, melakukan olahraga rutin, tidak merokok dan mengendalikan stres.
Baca juga: Pemerintah dorong BPJS Kesehatan biayai skrining kanker paru-paru
Baca juga: Regulasi tembakau alternatif dinilai bantu tekan prevalensi perokok
Baca juga: Pentingnya deteksi dini kanker paru
Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2022