Serang (ANTARA News) - Ratusan keluarga (KK) di sepanjang pantai utara Kabupaten Serang, Banten, kembali mengkonsumsi nasi bekas (sekul aking) yang semula untuk makanan bebek dan ayam karena mereka tidak mampu membeli beras yang harganya kini lebih Rp 5.500, per kilogram. "Beras yang berharga Rp3.000 saja kami tidak kuat beli, apalagi sekarang Rp5.000, per kg," kata Samsuri (53), warga Desa Sawahluhur, Kecamatan Kasemen, Kabupaten Serang, kepada ANTARA, Jumat. Hasil pantauan menunjukkan, kebanyakan warga membeli sekul aking dengan harga Rp1.000, per liter dari pedagang keliling. Sekul aking merupakan nasi bekas yang dikeringkan, kemudian dimasak kembali seperti menanak beras untuk dijadikan nasi. Sebelum dimasak menjadi nasi, sekul aking itu harus dicuci 3-4 kali agar kandungan racunnya hanyut terbawa air hingga air bekas cucian `sekul aking` berwarna cokelat dan bercampur berbagai kotoran. Sementara sekul aking itu sendiri sudah kehilangan sari patinya dan hanya tinggal ampas semata hingga tampak sudah layu. Sekul aking tersebut mulai dikonsumsi sejumlah warga yang tinggal di sepanjang sisi Utara dan Timur Kota Serang mulai dari Karanghantu, Pontang, Tirtayasa dan sebagian Tanara. Sebagian besar warga pengkonsumsi sekul aking tersebut berprofesi sebagai nelayan dan buruh tani yang tergolong dibawah garis kemiskinan dengan penghasilan yang tidak menentu. Bagi nelayan, sebagian besar mereka tidak mampu lagi melaut sejak Bahan Bakar Minyak (BBM) dinaikkan pemerintah hingga 120 persen hingga mengakibatkan ongkos melaut yang semula Rp800.000 per kapal kini Rp2 juta per kapal, sementara harga jual ikan tidak mengalami kenaikan secara berarti. Untuk bisa mempertahankan hidup sebagian nelayan beralih profesi menjadi tukang becak, kuli angkut di pasar dan buruh bangunan.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2006