Indonesia salah satu negara dengan sistem pelaporan kematiannya belum memadai

Jakarta (ANTARA) - Epidemiolog Griffith University Australia Dicky Budiman meminta pemerintah Indonesia untuk memperbaiki sistem pelaporan yang digunakan untuk mencatat setiap kasus kematian akibat COVID-19.

“Saya sampaikan Indonesia salah satu negara yang dari sistem pelaporan kematiannya belum memadai di dunia ini, sebelum pandemi saja sudah seperti itu. Artinya angka kematian di masyarakat bisa jauh lebih tinggi,” kata Dicky dalam pesan suara yang diterima ANTARA di Jakarta, Senin.

Dicky menuturkan adanya temuan sebanyak 44 kasus sampai 50 kasus kematian di Indonesia per harinya merupakan bukti sistem penanggulangan COVID-19 baik melalui tes atau pelacakan belum memadai.

Berbeda dengan Amerika yang terus menggencarkan 3T (testing, tracing dan treatment) hingga kasus kematian yang terlapor bisa menyentuh angka 7.000 kasus per harinya.

Baca juga: DKI akui ada masalah sistem pelaporan COVID-19

Baca juga: Inggris perluas kerja sama sistem pelaporan COVID-19 di Jawa Barat


Sehingga Indonesia tidak boleh cepat berpuas diri karena dapat menimbulkan fenomena “gunung es”, yakni kasus terlihat sedikit di luar namun tingkat infeksi jauh lebih banyak dan tidak terdeteksi di dalam.

“Kalau ada trennya berarti di masyarakat ada satu tren peningkatan infeksi yang sangat besar, karena kalau bicara Omicron yang katakanlah menular di tengah imunitas atau yang jauh lebih tinggi kemudian menyebabkan kematian berarti kasus infeksi ini jauh-jauh lebih banyak,” tegas Dicky.

Ia memprediksikan jumlah kasus terinfeksi di Indonesia, sebenarnya dapat mencapai 10 kali lipat. Perhitungan itu disebutkannya karena bila melihat pada kasus kematian akibat varian Delta saja, menurutnya minimal sudah 10 kali dari hasil surveillance yang dilaporkan dan terbukti terinfeksi.

Oleh sebab itu, Dicky menegaskan penting bagi Indonesia untuk tidak berkontribusi pada satu daerah saja, tetapi harus menciptakan adanya sebuah kesetaraan respon penanggulangan COVID-19 di seluruh daerah, meskipun kini cakupan vaksinasi sudah digencarkan di tiap-tiap daerah.

Termasuk bagaimana negara merespon kondisi pandemi dengan mengajak masyarakat untuk tidak menganggap remeh varian Omicron dan mengedepankan protokol kesehatan baik dalam memakai masker ataupun vaksinasi serta menggencarkan pelacakan kasus.

“Omicron ini kita tidak bisa menganggap enteng, walaupun betul bahwa dengan modal vaksinasi tampaknya kita tidak perlu pengetatan lebih ketat seperti waktu Delta. Tetapi tidak ada jaminan bahwa gelombang ketiga dengan dominan dari Omicron ini bisa lebih baik dari Delta,” ujar dia.

Ia memberikan contoh di negara Denmark, pemerintahnya mengambil keputusan berbasis sains dengan melibatkan masyarakat melalui pengisian sebuah survei untuk mengetahui kesiapan diri baik dari sisi psikis maupun budaya bila kebijakan atau penanggulangan diterapkan.

"Sehingga kini, kondisi kasus kematian akibat COVID-19 di Denmark terus meningkat, namun hunian ruang ICU mengalami penurunan," katanya.

Hal itu terjadi karena vaksin booster yang diberikan sudah mendekati 70 persen. Para lansia juga terus diedukasi untuk tetap disiplin menjalankan protokol kesehatan menggunakan masker dan menjaga jarak.

Ia turut menegaskan, tidak ada negara yang saat ini sudah menjadi endemi. Sebab, status endemi di suatu negara, hanya dapat ditentukan atau dicabut oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) saja.

“Dengan Omicron yang sedang meningkat ini, jelas angka reproduksinya di atas 1. Definisinya bukan endemi. Jadi tidak ada negara yang definisinya endemi saat ini dengan Omicron,” kata dia yang juga peneliti pandemi dan global security health itu.

Baca juga: Bima Arya bangun sistem pelaporan ketersediaan oksigen

Baca juga: Pemerintah ingatkan pentingnya lapor ke Puskesmas jika kontak erat

Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2022