Jadi tolong kami yang termasuk tenaga profesional dibedakan...

Al Khor, Qatar (ANTARA News) - Persatuan Masyarakat Indonesia di Qatar (Permiqa) meminta pemerintah agar membedakan proses pelayanan kepengurusan kartu tenaga kerja luar negeri bagi TKI sektor formal atau profesional dengan TKI sektor informal.

Sekretaris Jenderal Persatuan Masyarakat Indonesia di Qatar (Permiqa), Said Malawi, di Qatar, Senin malam waktu setempat (25/7) atau Selasa dinihari WIB, mengatakan, UU Nomor 39/2004 tidak secara tegas membedakan TKI yang bekerja di sektor formal dengan sektor informal, dalam proses kepengurusan KTKLN.

Malawi menyatakan hal itu dalam pertemuan sosialisasi mekanisme penerbitan KTKLN di Aula Al Khor Community, Qatar, terkait UU yang mengatur penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri.

Sosialisasi itu dihadiri Deputi Penempatan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), Ade Noch, Kasubdit Verifikasi dan KTKLN Direktorat Penyiapan dan Pemberangkatan bidang Penempatan BNP2TKI, Muhammad Hidayat, Kepala BP3TKI Bandung, Hasan Abdullah, dan Kuasa Usaha ad interim KBRI di Qatar, Riyadi Asirdin.

Menurut dia, para TKI yang bekerja di sektor formal ini adalah tenaga profesional yang bekerja di luar negeri dengan cara mencari sendiri, tidak ada yang menempatkan.

"Sementara TKI informal seperti penata laksana rumah tangga alias PLRT memang TKI yang ditempatkan pemerintah atau Pelaksana Penempatan TKI Swasta. Jadi tolong kami yang termasuk tenaga profesional dibedakan," katanya.

Dalam ayat 2 butir f pasal 26 UU No 39/2004 menyebutkan, "TKI yang ditempatkan wajib memiliki KTKLN"; sedangkan ayat 1 pasal 62-nya menyebutkan, "Setiap TKI yang ditempatkan di luar negeri wajib memiliki dokumen KTKLN yang dikeluarkan oleh pemerintah."

"Kami ini mandiri, tidak ditempatkan dan tidak ada yang menempatkan. Perusahaan tempat kami bekerja juga telah menjamin dan memberikan asuransi. UU itu harus direvisi karena menimbulkan interpretasi," kata Malawi.

Senada dengan itu, Ali Mustofa, TKI profesional yang bekerja di Ras Gas, salah satu perusahaan gas Qatar, mengingatkan agar proses penerbitan KTKLN tidak menghambat para TKI formal atau profesional untuk kembali bekerja di luar negeri. "Karena faktanya ada TKI yang sudah di bandara batal berangkat karena tidak memiliki KTKLN," katanya.

Ia juga menilai, kalau KTKLN hanya untuk pendataan TKI, maka itu tidak tepat karena semua TKI yang ada di luar negeri harus mendaftar di KBRI, sehingga semua data sebenarnya sudah pada masing-masing KBRI di mana TKI bekerja.

"Persoalan TKI yang sering muncul khan dari sektor informal seperti PLRT, sementara kami dari TKI formal/profesional sangat jarang yang bermasalah. Kalau ada masalah, bisa cepat selesai, karena kontrak kerja kami sangat jelas," katanya.

Menanggapi hal tersebut, Noch mengatakan, pemerintah bekerja berdasarkan UU, namun kalau UU itu ada kelemahan, bisa diusulkan kepada pemerintah dan DPR untuk diubah. "Karena ini perintah UU, kalau tidak dilaksanakan maka kami (pemerintah) melanggar UU," katanya.

Noch menegaskan, pihaknya akan mempertimbangkan untuk membedakan pelayanan antara TKI sektor formal seperti tenaga profesional dan TKI sektor informal, sebagaimana yang diusulkan Permiqa.

Ke depan, katanya, pemerintah khususnya BNP2TKI terus berkomitmen untuk memberikan pelayanan terbaik bagi para TKI yang bekerja di luar negeri.

"Tugas kami adalah membenahi pelayanan. Dalam hampir dua bulan terakhir ini, kami membuka pelayanan di Bandara Soekarno-Hatta Cengkareng dan Bandara Juanda Surabaya, untuk melayani pembuatan KTKLN. Kami akan memastikan agar para TKI yang berangkat tidak terhambat untuk kembali bekerja di luar negeri," ujar Noch. (ANT)

Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2011