Tak hanya OJK, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) optimistis kredit akan tumbuh melesat ke level 5,1 persen sampai 8,9 persen.

Jakarta (ANTARA) - Kondisi perekonomian pada 2022 kian optimistis seiring membaiknya berbagai komponen pertumbuhan ekonomi, seperti konsumsi, investasi, ekspor, impor, hingga belanja pemerintah yang terus menunjukkan pemulihan.

Berbagai lembaga pun memproyeksikan perbaikan tersebut akan meningkatkan kredit hingga tumbuh kencang di tahun Macan Air ini.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) misalnya, memperkirakan pertumbuhan kredit akan meningkat dalam rentang 6,5 persen sampai 8,5 persen pada 2022, sejalan dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi nasional yang kemungkinan mencapai 5,2 persen.

Salah satu indikator perkiraan tersebut adalah menurunnya angka restrukturisasi kredit menjadi Rp693,6 triliun pada 2021, jauh di bawah angka tertinggi Rp830,5 triliun pada 2020.

Dari jumlah restrukturisasi pada 2021 tersebut, telah dibentuk pencadangan sebesar 14,85 persen atau sekitar Rp103 triliun.

Tak hanya OJK, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) optimistis kredit akan tumbuh melesat ke level 5,1 persen sampai 8,9 persen.

Baca juga: BRI catat pertumbuhan kredit 7,16 persen pada 2021

Sementara itu, Bank Indonesia (BI) memproyeksikan pertumbuhan kredit pada 2022 akan mencapai enam persen sampai delapan persen, sejalan dengan berangsur pulihnya aktivitas ekonomi dari pandemi COVID-19.

Dalam jangka pendek, kebijakan untuk mendorong penyaluran kredit perbankan diperlukan dengan mengatasi permasalahan baik dari sisi penawaran maupun permintaan kredit.

Pemetaan sektor-sektor prioritas sangat penting untuk memahami faktor mana yang lebih dominan dan respons kebijakan yang diperlukan, apalagi mengingat permasalahan dapat berasal dari permintaan kredit perusahaan atau penawaran kredit perbankan.

Untuk industri makanan minuman, kimia, otomotif, dan alat angkut lainnya, penyaluran kredit telah meningkat karena permintaan dari korporasi dan perbankan juga siap membiayainya.

Sementara itu pada sektor-sektor lainnya, perlu insentif untuk mendorong kredit, baik insentif pada sektor riil agar prospek bisnis lebih baik maupun insentif kepada perbankan dalam bentuk jaminan kredit atau insentif suku bunga.

Target memang harus terukur dan menantang, meski begitu Pengamat Perbankan Paul Sutaryono meyakini proyeksi berbagai lembaga tersebut tentunya telah mempertimbangkan banyak hal.

Dengan melihat realisasi pertumbuhan kredit pada 2021, target OJK, LPS, hingga BI sejatinya realistis, terutama dengan adanya prospek pertumbuhan ekonomi yang lebih cerah pada tahun ini.

Namun hal itu tentunya harus didukung dengan percepatan vaksinasi lengkap ditambah vaksin booster, sehingga mobilitas masyarakat bisa semakin tinggi dan berimplikasi kepada semakin bergerak cepatnya sektor riil.

Kendati demikian, tetap ada beberapa tantangan eksternal yang menghantui pemulihan ekonomi domestik, seperti potensi kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral Amerika Serikat empat kali pada tahun ini.

Hal tersebut bisa mempengaruhi kondisi moneter domestik, yakni potensi kenaikan inflasi, pelemahan nilai tukar rupiah, hingga kenaikan suku bunga acuan BI.


Berhasil mengakselerasi kredit

Geliat perekonomian mulai terlihat pada triwulan IV-2021, sebagai akibat semakin dilonggarkannya pembatasan sosial serta masifnya vaksinasi COVID-19.

Pergerakan ekonomi tersebut menumbuhkan kredit perbankan pada tahun lalu sebesar 5,24 persen jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya (year on year/yoy).

Baca juga: LPS proyeksikan kredit perbankan tumbuh hingga 8,9 persen pada 2022

Pertumbuhan kredit pada tahun lalu tentunya menggembirakan, mengingat pada tahun 2020 kredit terkontraksi sebesar 2,41 persen (yoy).

Meski sempat tertahan pada Juli 2021 seiring dengan kebijakan pembatasan mobilitas akibat COVID-19 varian Delta, pertumbuhan kredit melanjutkan peningkatan hingga mencapai 2,21 persen (yoy) pada September 2021.

Mulai pulihnya intermediasi perbankan didorong oleh perbaikan baik dari sisi permintaan maupun sisi penawaran kredit.

Permintaan kredit membaik, terutama dari dunia usaha dan konsumsi sejalan dengan meningkatnya aktivitas masyarakat.

Dari sisi penawaran, standar penyaluran kredit oleh perbankan melonggar seiring dengan menurunnya persepsi risiko, di samping sangat longgarnya likuiditas dan penurunan suku bunga kredit baru.

Dengan demikian kinerja positif pertumbuhan kredit terjadi pada seluruh kelompok penggunaan kredit, terutama kredit konsumsi dan kredit modal kerja yang tumbuh masing-masing 4,67 persen dan 6,32 persen pada tahun lalu.

Di sektor konsumsi, kenaikan kredit yang tertinggi tercatat pada Kredit Pemilikan Rumah (KPR), yaitu sebesar 9,13 persen pada tahun lalu, yang sejalan dengan kebijakan terpadu Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) untuk mendorong sektor properti.

Pertumbuhan kredit UMKM meningkat pada 2021, seiring dengan berlanjutnya perbaikan di sektor riil dan dunia usaha, khususnya UMKM.


Limpahan Likuiditas

Tak hanya terbantu oleh permintaan dan penawaran yang meningkat, pertumbuhan kredit turut didukung besarnya likuiditas di perbankan akibat kucuran dari Bank Indonesia (BI).

Injeksi likuiditas alias quantitative easing terus dilanjutkan untuk memperkuat kemampuan perbankan dalam meningkatkan kredit/pembiayaan kepada dunia usaha selama pandemi.

Pada 2021, bank sentral telah menambah likuiditas di perbankan sebesar Rp147,83 triliun, sehingga secara keseluruhan sejak tahun 2020 kebijakan quantitative easing telah mencapai Rp874,4 triliun atau sekitar 5,3 persen dari produk domestik bruto (PDB).

Dengan demikian, likuiditas di perbankan pun melimpah, tercermin dari rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) yang mencapai 35,12 persen pada Desember 2021.

Angka tersebut jauh di atas kondisi AL/DPK sebelum pandemi yang paling tinggi mencapai 21 persen.

Baca juga: OJK sebut kredit modal kerja dorong pertumbuhan kredit pada 2021

Selain injeksi likuiditas, BI juga melanjutkan pembelian SBN untuk pendanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2021 sebesar Rp358,32 triliun, yang juga menambah likuiditas di dalam perekonomian sejalan dengan realisasi belanja pemerintah.

Peningkatan likuiditas perekonomian pun tercermin dari data uang beredar dalam arti sempit (M1) dan luas (M2) yang tumbuh masing-masing sebesar 17,9 persen (yoy) dan 13,9 persen (yoy).

Pertumbuhan uang beredar tersebut terutama didukung oleh kredit perbankan, yang mengindikasikan semakin meningkatnya pembiayaan bagi pemulihan ekonomi nasional.

Melimpahnya likuiditas perbankan juga terjadi akibat penempatan dana pemerintah yang dialokasikan dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) 2021.

Penempatan dana pemerintah kepada perbankan masuk ke dalam pos dukungan UMKM dan korporasi yang dianggarkan sebesar Rp171,77 triliun.

Dari program penempatan dana pemerintah, perbankan telah berhasil menyalurkan kredit Rp458,22 triliun kepada 5,49 juta debitur sejak 1 Januari sampai 17 Desember 2021.

Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2022