Sendratari yang dibawakan sejumlah penari dari Paroki Promomasan, Kulon Progo itu, merepresentasikan ketangguhan, keunggulan, dan kesempurnaan tokoh Bima yang berhasil memperoleh dan melaksanakan "ilmu sejati".
Menurut pengarah Sendratari Bima Suci, Gregorius Puspito Sukindro, "ilmu sejati" itu menunjukkan jalan kembali menyatu dengan Tuhan Yang Maha Esa di taman kemuliaan abadi.
"Bima Suci adalah Raden Bratasena yang telah berhasil mendapatkan `ilmu sejati`, yaitu `ilmu sangkan paraning dumadi`, melalui petunjuk Sang Begawan Durna," katanya.
Ia mengatakan dalam cerita sendratari ini, Raden Bratasena adalah putra II Dewi Khunti dengan mendiang Raja Pandhu Dewanata.
Bratasena adalah satria yang gagah perkasa, tidak gentar dalam menghadapi segala rintangan, walaupun harus terjun ke samudera untuk mendapatkan yang diinginkan, agar cita-citanya tercapai.
"Raden Bratasena adalah sosok satria yang sangat patuh dan menghormati orang tua, serta sayang kepada saudara-saudaranya," katanya.
Menurut dia, Sendratari Bima Suci mengandung pesan bahwa manusia seyogyanya hidup dengan menjunjung nilai-nilai luhur budaya bangsa.
"Sikap hidup pragmatis pada sebagian besar masyarakat Indonesia saat ini mengakibatkan terkikisnya nilai-nilai luhur budaya bangsa," katanya.
Ia mengatakan, demikian pula halnya dengan budaya kekerasan dan anarkisme sosial, turut memperparah kondisi sosial budaya bangsa Indonesia.
"Oleh karena itu, Sendratari Bima Suci mengajak masyarakat untuk menjunjung budaya adiluhung dan epidemi bangsa sebagai nilai kearifan lokal yang santun, saling menghormati, arif bijaksana, dan religius," katanya.
Namun, kata dia, kondisi saat ini cukup memprihatinkan, karena masyarakat sangat mudah tersulut emosinya, pemarah, brutal, anarkisme, kasar, dan tidak mampu mengendalikan hawa nafsunya.
"Fenomena ini dapat menjadi representasi melemahnya karakter bangsa yang terkenal dengan ramah, santun, berbudi pekerti luhur, serta berbudi mulia," katanya.
Festival Kesenian Tradisional yang berlangsung di Desa Banjarharjo, Kecamatan Kalibawang, diselenggarakan oleh Orang Muda Katolik (OMK) Kulon Progo.
Peserta festival ini empat paroki, di antaranya Paroki Nanggulan, Brosot, dan Paroki Kalibawang. Setiap paroki menampilkan kesenian tradisional yang dibawakan 50 penari.
Ketua panitia festival Yohanes Advent Tody mengatakan festival mengusung tema "saiyeg saeka kapti, memetri rukuning sesami", atau kebersamaan menjaga kerukunan antarwarga masyarakat.
Festival ini, kata dia untuk memperebutkan piala dari Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, DPRD Provinsi DIY, Pemerintah Kabupaten Kulon Progo, serta Keuskupan Agung Semarang.(*)
(ANT-159/M008)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011