Jakarta (ANTARA News) - Meneg Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Paskah Suzetta mengatakan pihaknya menyambut gembira rencana Departemen Keuangan membentuk Ditjen Pengelolaan Utang.
"Bagus ajalah, kalau ada direktorat yang mengelola utang secara khusus, sehingga masyarakat bisa langsung mengecek berapa utang pemerintah yang sebenarnya," kata Paskah, di Jakarta, Jumat.
Ia menjelaskan dengan pembentukan itu, diharapkan pengelolaan utang tidak akan tumpang tindih dengan Bappenas.
"Selama ini memang kita tidak mengelola utang. Kita hanya merencanakan utang-utang yang akan diajukan oleh departemen dan lembaga keuangan," ujarnya.
Paskah juga mengatakan keberadaan ditjen baru diharapkan dapat memudahkan masyarakat untuk memperoleh akses tentang utang luar negeri.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menurut rencana akan menambah dua ditjen di lingkungan Depkeu, yaitu Ditjen Pengelolaan Utang, dan Ditjen Kebijakan Fiskal.
Penambahan itu terkait juga dengan besarnya beban dan tanggungjawab yang harus diemban oleh Ditjen Perbendaharaan Negara yang juga mengurusi masalah utang luar negeri.
Pengamat ekonomi yang juga anggota DPR Komisi XI, Dradjad Wibowo mengemukakan Menkeu sebaiknya tidak perlu mengurusi reorganisasi departemennya karena yang harus lebih difokuskan adalah masalah penurunan utang-utang luar negeri.
Dradjad mengkhawatirkan rencana Depkeu menambah ditjen malah akan memangkas atau menyunat kekuasaan Bappenas terkait dengan pengelolaan utang.
Pinjaman dari Jepang
Sedangkan saat ditanya tentang tiga proyek yang dibiayai oleh pinjaman dari Jepang dengan ketentuan suku bunga dan dana pendamping yang baru, Paskah menegaskan hingga kini pihaknya masih terus bernegosiasi dengan pihak Jepang.
"Kita masih belum bisa menerima kenaikan suku bunga dan dana pendamping itu," kata Paskah.
Tiga proyek tersebut antara lain proyek mass rapid transportation (MRT) dan pembangkit listrik (power plant).
Suku bunga pinjaman Jepang sendiri saat ini naik dari 1,3 persen menjadi 1,5 persen, sedangkan dana pendamping untuk pinjaman dari Jepang naik dari 15 persen menjadi 25 persen. (*)
Copyright © ANTARA 2006