Kalau sudah menjalani tradisi itu, hati menjadi lega"
Magelang (ANTARA News) - Bunyi kentongan satu ritme terdengar tiga kali dari arah rumah kepala dusun di lereng barat Gunung Merbabu, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, lima menit sebelum arloji menujuk pukul 07.00 WIB.
Sebentar kemudian semua warga, laki-laki, perempuan, pemuda, dan anak-anak bermunculan dari pintu depan rumah masing-masing dengan mengenakan pakaian bersih dan rapi.
Para lelaki menyunggi tenong berisi ingkung, lauk pauk, dan sayuran, sedangkan perempuan menggendong bakul berisi nasi tumpeng, serta anak-anak membawa tikar.
Kabut tebal yang baru saja menyingkir dari kawasan setinggi sekitar 800 meter dari permukaan air laut itu, masih tampak tipis tersibak langkah sekitar 600 warga setempat di Dusun Gejayan, Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Mereka pagi itu berduyun-duyun berjalan kaki melewati jalan-jalan kampung bertata rapi bebatuan menuju pemakaman leluhur setempat, di pinggir dusun untuk menjalani tradisi ritual menyadran yang lebih familier disebutnya sebagai "nyadran".
Tiba di pemakaman desa yang cukup luas dan telah bersih karena sehari sebelumnya warga gotong royong menyingkirkan sampah dedaunan dari tempat peristirahatan terakhir leluhur dan sanak keluarga mereka itu, mereka menggelar tikar berderet di tepi jalan makam.
Ratusan tenong yang berupa wadah berbentuk bulat berdiameter sekitar setengah meter terbuat dari anyaman bambu diletakkan berjajar dengan bakul di atas tikar. Mereka pun kemudian duduk bersila di antara tenong dan bakul itu.
Sejumlah lelaki tua yang masing-masing mengenakan sarung, baju batik, dan peci, termasuk Kepala Dusun Gejayan, Sulis Prasetyo, duduk bersila di depan makam pasangan leluhur desa itu yang mereka sebut sebagai Kiai Onggojoyo dan Nyai Onggojoyo. Nama mereka menjadi cikal bakal sebutan dusun "Gejayan" di lereng barat Gunung Merbabu setinggi sekitar 3.145 meter dari permukaan air laut itu.
Setiap kepala keluarga bergiliran mendatangi para lelaki itu untuk mengumpulkan sebungkus daun pisang berisi antara lain bunga mawar warna merah dan putih, kantil, kenanga, kemenyan, dan uang kertas pecahan Rp1.000.
Para lelaki lalu memilah-milah isi bungkusan itu, kemenyan dijadikan satu di wadah plastik berwarna biru, sedangkan uang dihitung untuk menjadi kas dusun khusus biaya merawat makam. Beberapa warga lainnya berjalan menuju pusara sanak keluarga masing-masing untuk tabur bunga.
Tak beberapa lama kemudian, seorang lelaki tua mengenakan peci hitam, bersarung, dan berbaju safari warna abu-abu masuk pemakaman, lalu duduk bersila di depan pusara Kiai dan Nyai Onggojoyo. Pusara batu gunung yang ditumbuhi lumut cukup tebal tanpa cungkup itu berada di tengah makam.
Lelaki yang modin Dusun Gejayan bernama Mulyono itu mulai membakar kemenyan dan memimpin doa untuk leluhur saat tradisi nyadran tersebut.
"`Laa ilaaha illa Allah`," demikian tahlil terdengar berulang-ulang dipimpin sang modin, diikuti seluruh warga secara kompak, membuat suasana makam terkesan sakral. Lantunan tahlil itu bagian dari rangkaian doa mereka untuk leluhur desa itu.
Sowan terhadap leluhur terasa masuk puncak suasana nyadran saat mereka melantunkan tahlil tersebut. Pagi yang makin terlihat cerah dengan udara sejuk Gunung Merbabu seakan menguatkan kiriman doa mereka untuk leluhur desa setempat.
Sejumlah nama nabi, leluhur, dan pepunden desa yang disebut oleh modin saat rangkaian doa nyadran menjelang masyarakat setempat memasuki Bulan Puasa, Ramadhan 1432 Hijriah antara lain Nabi Muhammad SAW, Nabi Sulaiman, Kiai dan Nyai Onggojoyo, Kiai dan Nyai Juru Mertani, Kiai dan Nyai Singobarong, Kiai dan Nyai Sri Wulan, Kiai dan Nyai Gadung Mlati, Kiai dan Nyai Driyo, Kiai dan Nyai Silem Dalem.
Mereka yang disebutkan namanya oleh sang modin itu memiliki kisah turun temurun di masyarakat setempat antara lain menyangkut ajaran keagamaan, perjalanan mengawali kehidupan di dusun itu, cerita kekuatan spiritual dan kultural masyarakat desa setempat.
"Disuwuni kangge Pak Bayan (kepala dusun, red.), bekti kita kangge leluhur, kangge rukun tetanggi, nyuwun berkah kangge tetanen supados murah rejeki," demikian salah satu penggalan kalimat yang diucapkan sang modin dan secara tekun disimak masyarakat setempat.
Kira-kira maksud kalimat itu sebagai pemberitahuan resmi kepala dusun melalui modin tentang permintaan warga agar berkumpul di makam itu untuk menghormati dengan mengirim doa kepada leluhur dan berdoa agar mereka selalu hidup bersama secara kekeluargaan, mendapat berkah dan rejeki melimpah dari Tuhan, serta karunia pertanian yang subur.
"Nyadran ini setahun sekali, `nalurinya` (sebutan warga untuk menjalani suatu tradisi, red.) saat pagi, sebelum puasa Ramadhan, bertepatan dengan bulan Ruwah, harinya Kamis Kliwon atau Minggu Kliwon. Untuk tahun ini tidak ada Minggu Kliwon, jadi kami tahun ini menjalani `naluri` ini Kamis Kliwon," kata Kadus Gejayan Sulis Prasetyo.
Kewajiban sesaji utama saat nyadran yang harus mereka bawa antara lain kembang mawar dan kemenyan, ingkung, nasi tumpeng dengan lauk tempe, rempah, serta perkedel.
Setelah menyantap hidangan sesaji dari tenong dan tumpeng masing-masing, warga meninggalkan makam itu untuk kembali ke rumahnya.
Perarakan mereka mengusung ratusan tenong dari pemakaman itu untuk kembali ke rumah masing-masing tampak unik dan menakjubkan. Perjalanan mereka bagaikan pawai tenong melewati dusun setempat, tanpa tabuhan alat musik kesenian tradisional mereka, namun berbalut percakapan, sendau gurau, dan wajah-wajah ceria, menyibak kabut tipis serta hawa sejuk Gunung Merbabu.
Tradisi nyadran mereka belum rampung. Tak sampai sepuluh menit mereka berada di rumah masing-masing, suara kentongan berritme sama terdengar lagi dari rumah kadus.
Para perempuan keluar dari rumah masing-masing membawa rantang berisi nasi, sayuran, dan lauk pauk menjalani tradisi "metokan, serangkai dengan nyadran itu.
Mereka bergegas menuju ruang tamu rumah kadus setempat, meletakkan rantangnya, lalu mengikuti darasan doa dipimpin Modin Mulyono. Hanya sebentar, kemudian para perempuan itu pulang membawa menu untuk "metokan" tersebut ke rumah masing-masing.
Terdengar lagi bunyi kentongan, masih dengan ritme yang sama, pertanda warga setempat meneruskan rangkaian terakhir tradisi nyadrannya.
Mereka yang umumnya para lelaki itu berboncengan mengendarai sepeda motor ke arah timur Dusun Gejayan, sepanjang sekitar satu kilometer, ke tempat yang lebih tinggi di makam Pangeran Timur, Dusun Banaran, Desa Ketundan, Kecamatan Pakis. Pembonceng menyunggi tenong menuju makam yang tak jauh dari tuk Kali Sepasang yang airnya antara lain mengalir hingga Dusun Gejayan. Pepunden mata air itu disebut mereka dengan nama Kiai dan Nyai Sriwulan.
Perjalanan mereka melintasi jalan tanah itu melewati lahan pertanian yang kini sebagian besar berupa hamparan tanaman tembakau, jagung, dan cabai rawit merah, serta hutan pinus. Air dari sumber setempat juga mengalir ke sejumlah dusun lainnya seperti Mejing, Nglarangan, Banyusidi, Ngelo, Ndakawu, Dukoh, dan Sebanteng.
Warga tujuh dusun itu telah menjalani nyadran di makam Pangeran Timur itu sehari sebelumnya, Rabu (20/7), sedangkan khusus warga Gejayan pada Kamis Kliwon (21/7) siang menjelang azan zuhur. Nyadran makam di tempat itu untuk penghormatan leluhur warga Banaran karena wilayah itu memiliki sumber air untuk warga dusun lainnya.
Kepala Dusun Banaran, Sutari, dan modin setempat Tukimin menyambut kedatangan Kadus Gejayan, Sulis Prasetyo, modin Mulyono, dan serombongan warga lelaki Gejayan untuk melanjutkan tradisi nyadran itu.
Mereka duduk di serambi pendopo makam utama Pangeran Timur. Tokoh yang disebut warga sebagai pangeran itu, konon kerabat Keraton Surakarta, meninggal saat masih bayi dan dimakamkan di kawasan tepian Kali Sepasang itu.
Modin Tukimin membuka pintu makam di tengah pendopo, menyibakkan kain mori warna putih, lalu duduk bersila menaburkan kembang mawar dan membakar kemenyan yang dibawa warga Gejayan, sedangkan modin Mulyono memimpin doa dan pembacaan tahlil di luar ruang makam itu.
Dua kadus duduk berdampingan menghadap pintu makam di tengah hamparan pertanian holtikultura setempat itu diikuti masyarakat dengan mengangkat kedua tangan di depan dada masing-masing, untuk mendaraskan tahlil selama beberapa saat.
Mereka kemudian membagi-bagikan sebagian isi sesaji dari tenong masing-masing ke puluhan bakul plastik beraneka warna, sebagai tanda pembagian berkat kepada masyarakat Banaran.
Siang makin menjulang, namun terpaan sinar matahari terasa akrab dengan udara sejuk Merbabu. Mereka berrombongan mengendarai sepeda motor meninggalkan tempat itu.
"Nek pon nglampahi `naluri` niku, onten e nggih ati lega (Kalau sudah menjalani tradisi itu, hati menjadi lega)," kata seorang warga Gejayan, Sutris.
Sowan leluhur lewat tradisi nyadran itu nampaknya wujud bakti masyarakat kepada peletak dasar jalan kehidupan tradisi gunung mereka.
(M029*H018/Z002)
Oleh M. Hari Atmoko
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011