Ikuti dasar gerak tarian bedaya Wenti. Biasanya tarian ini ditampilkan di keraton, tetapi sekarang anda latihan di tempat ini,"

Magelang (ANTARA News) - Seorang perempuan separuh baya sore itu membawa beberapa lembar daun pisang yang baru saja dipetik dengan sabitnya dari pekarangan alamiah yang oleh seniman petani Komunitas Lima Gunung Magelang dinamakan sebagai "Museum Kali Wangsit".

"`Yuwun ron e` (minta daun pisangnya)," kata perempuan warga sekitar itu.

Tujuh mahasiswa berasal dari sejumlah program pendidikan di Nanyang Academy of Fine Arts (NAFA) Singapura dipandu pemimpin tertinggi Komunitas Lima Gunung (KLG), Sutanto Mendut dan lima seniman petani yang memainkan peran sebagai juru kunci Museum Kali Wangsit berjalan perlahan dari panggung terbuka Studio Mendut menuju pekarangan di tepian aliran Kali Pabelan Mati itu, beberapa waktu lalu.

Gemericik air sungai seakan memberikan aba-aba untuk langkah mereka melewati jalan setapak berumput di antara tebaran batuan dan pepohonan di Museum Kali Wangsit yang antara lain telah bertengger sejumlah patung batu "Dewi Tara", "Ken Dedes", "Ganesha", "Semar", dan "Lingga-Yoni".

Sesekali suara burung gagak terdengar melintas selama para mahasiswa itu dengan pendampingan koreografer tari klasik India, berasal dari Mumbai, India, Siri Rama itu, menjalani latihan dasar olah gerak tarian.

"`Nggih monggo, mendhet mawon` (Ya silakan, ambil saja, red.)," kata Sutanto yang juga pengelola Studi Mendut, sekitar tiga kilometer timur Candi Borobudur di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah itu, seakan mengizinkan perempuan itu mengambil daun pisang dari pekarangan tersebut.

Perempuan itu pun terlihat berjongkok di ujung pekarangan untuk melipat daun pisang yang baru saja diiris dari pelepahnya, lalu pergi meninggalkan Museum Kali Wangsit tersebut.

Sementara itu, para pelaku olah gerak tiba di tengah pekarangan seluas 1.200 meter persegi tersebut, mengikuti gerakan penari utama KLG, Wenti Nuryanti, yang direspons dengan gerak performa lima juru kunci masing-masing Djoko Widyanto, Armanto, Parmadi, Kisut, dan Kipli.

Mereka, masing-masing membalut badannya dengan kain warna hitam, mengikuti arahan dasar gerak yang disampaikan Sutanto Mendut dari tepi pekarangan setempat.

"Ikuti dasar gerak tarian bedaya Wenti. Biasanya tarian ini ditampilkan di keraton, tetapi sekarang anda latihan di tempat ini," kata Sutanto.

Beberapa saat kemudian, para pelaku olah gerak itu membentuk konfigurasi lingkaran dan memainkan performa secara bebas, mengikuti gerakan performa lima juru kunci antara lain tarian soreng, grasak, dan teatrikal.

Perlahan-lahan mereka kembali berjalan ke panggung terbuka Studio Mendut yang dinamakan Taman Meditasi Metamorfosa untuk melanjutkan olah gerak itu.

Beberapa nomor dasar gerak tarian mereka mainkan seakan merespons suara-suara alam sekitar. Suara irama ketukan batu secara bervariasi turut mewarnai olah gerak mereka sambil sekali meniti "panggung" berundak selebar setengah meter dan panjang empat meter dari rangkaian kayu yang ditutupi dengan kain hitam.

Babak latihan dasar olah gerak mereka lanjutkan hingga suara azan Magrib melantun dari pengeras suara di salah satu masjid terdekat dengan Studio Mendut.

Mereka kembali berjalan berurutan menuju Museum Kali Wangsit. Wenti berjalan perlahan paling depan diikuti secara selang-seling para mahasiswa NAFA dengan lima pelaku juru kunci.

Suara kentongan perlahan-lahan mengiring perjalanan olah gerak mereka yang kini harus menyatu dengan arah aliran air Kali Pabelan Mati, di antara bebatuan cukup besar di tengah sungai itu.

Siri Rama sempat terpeleset saat berjalan di tengah arus kecil sungai itu tetapi kemudian dibantu oleh seorang juru kunci untuk melanjutkan latihan pada babak itu.

Di penggalan alur sungai, di bawah tangga menuju Studio Mendut, dengan kubangan air setinggi sekitar setengah meter, Wenti berendam dan memainkan gerak tangan bedayanya.

Saat azan Magrib berkumandang dan suasana remang hendak masuk Taman Meditasi Metamorfosa Studio Mendut, mereka mengakhiri latihannya.

Meskipun pakaian mereka terlihat basah setelah berjalan sepanjang sekitar 30 meter sambil memainkan olah gerak tari di arus Kali Pabelan Mati itu, raut gembira menempel di wajah para mahasiswa NAFA Singapura hingga akhir latihan mereka.

"Pengalaman latihan ini menyenangkan. Terima kasih Djoko, tadi saya sempat jatuh (terpeleset, red.), tapi ditolong Djoko," kata Siri Rama saat mengakhiri latihan tersebut.

Sutanto mengatakan, Museum Kali Wangsit sebagai salah satu "terminal" untuk siapa saja yang menjalani gerakan kebudayaan.

Entah apa yang bakal menjadi inspirasi para pelaku latihan olah gerak itu. Tetapi, idenya memungkinkan mengalir seperti aliran sungai.

"Bisa bedaya, sampah plastik, entah kentongan, kain hitam, patung lingga, mungkin juga batu lahar Gunung Merapi. Asalkan dia manusia yang menghargai manusia, siapapun dan apapun imajinasinya, air kali selalu siap menuju samudera," katanya.
(M029*H018/Z002)

Pewarta: M. Hari Atmoko
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011