"Semua elemen masyarakat yang terkait perlu bekerja keras, bersama-sama menjaga Legong Keraton agar terhindar dari kepunahan atau tergerus oleh modernisasi yang tidak selaras dengan nilai-nilai tradisi Bali," katanya di Yogyakarta, Kamis.
Dalam ujian untuk memperoleh gelar doktor di Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM), ia mengatakan, keberadaan Legong Keraton sebagai seni tradisi perlu dipahami dan dipertimbangkan dengan menggunakan cara pandang hidup masa kini.
"Dengan demikian, Legong Keraton dapat menjadi kekayaan budaya yang berguna bagi masyarakatnya," kata dosen Jurusan Tari Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta itu.
Ia mengatakan, hal itu selain akan memberi ruang gerak bagi tumbuhnya kesenian baru, juga berarti generasi penerus tidak harus mengikuti atau menerima begitu saja segala sesuatu yang pernah dicapai pendahulunya.
"Kehadiran Legong Keraton yang mengusung konsep estetika berbeda dari genre tari periode sebelumnya dipandang sebagai pemicu awal perubahan estetika bentuk seni pertunjukan (tari) Bali," katanya.
Menurut dia, legong tradisi itu memiliki variasi bentuk dan kualitas gerak yang memungkinkan terbentuknya fleksibilitas tubuh penari dalam bergerak sehingga pada masa sekarang mempelajari atau mementaskan Legong Keraton seolah menjadi sebuah keharusan bagi perempuan penari di Bali.
"Sebagian pandangan masyarakat seniman di Bali yang menilai Legong Keraton sebagai produk budaya masa lalu tidak dapat dipungkiri telah member kontribusi yang cukup signifikan bagi pertumbuhan tari di Bali," katanya.
Ia mengatakan, Legong Keraton memiliki kemampuan bertahan sekaligus mempengaruhi atau menginspirasi kehadiran karya-karya baru, tidak hanya menginspirasi kelahiran tari baru tetapi juga menginspirasi para pelukis dan fotografer dalam melahirkan karya-karyanya.
"Legong ditransmisikan dari generasi ke generasi sebagai tarian yang sangat disarankan untuk dikenal dan dikuasai oleh mereka, terutama perempuan penari ang mempelajari tari Bali, baik melalui lembaga pendidikan formal maupun nonformal," katanya.
Menurut dia, saat ini keberadaan Legong Keraton masih tetap hidup berdampingan dengan legong kreasi dan tari kreasi lainnya yang "datang-hilang". Bentuk-bentuk pengaruh Legong Keraton dapat dilacak pada genre tari Kebyar atau kekebyaran, sendratari, dan tari kreasi lainnya.
"Justru keberadaan Legong Keraton sebagai sumber penciptaan tari di Bali ternyata melampaui Gambuh yang selama ini dipandang sebagai cikal-bakal tari Bali," katanya.
Dalam ujian tersebut, promovendus dinyatakan lulus dengan predikat sangat memuaskan dan berhak menyandang gelar doktor.(*)
(L.B015*H010/N002)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011