Hanya nuklir yang bisa memenuhi kebutuhan energi yang besar. Kami tidak tertarik dengan bioenergi

Jakarta (ANTARA News) - Ketua Umum Persatuan Insinyur Indonesia (PII) Muhammad Said Didu menilai pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) saat ini sudah sangat mendesak bagi pertumbuhan ekonomi nasional berhubung kebutuhan listrik bertambah 3.000 MW setiap tahun.

"Kita tidak bisa lagi mengandalkan energi fosil, namun untuk mengembangkan energi alternatif seperti energi matahari, angin atau air juga tidak memungkinkan untuk mencukupi kebutuhan listrik yang sangat besar itu," katanya seusai membuka Rapat Pimpinan Nasional PII 2011 di Jakarta, Rabu.

Meski Indonesia kaya akan sumber bioenergi, lanjut dia, namun untuk mengandalkan bioenergi juga sangat berbahaya karena sumber pangan akan dialihkan menjadi sumber energi dan membuat harga pangan akan semakin melonjak.

"Hanya nuklir yang bisa memenuhi kebutuhan energi yang besar. Kami tidak tertarik dengan bioenergi," katanya.

Menurut dia, untuk membangun PLTN agendanya hanya satu, yakni cari teknologi yang aman lalu cari daerah yang juga aman dari kemungkinan gempa dan tsunami.

Didu juga membantah pernyataan bahwa sumber daya manusia Indonesia tidak mampu membangun PLTN. "Justru Indonesia punya banyak sekali ahli nuklir yang mereka banyak dibutuhkan di luar negeri, sangat disayangkan jika mereka tak terpakai."

Energi nuklir menjadi pilihan PII dengan alasan, menjaga ketahanan pangan, meningkatkan nilai tambah sumber energi karbon (minyak bumi, batubara dan gas), menyediakan energi yang berdaya saing, menjaga stabilitas ekonomi dari gejolak harga bahan bakar dan harga pangan serta mempercepat pemenuhan kebutuhan energi listrik.

Ia menegaskan, masalah energi dan infrastruktur adalah kendala utama dari implementasi Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang dicanangkan Presiden Yudhoyono.

Didu juga menegaskan perlunya subsidi bahan bakar fosil dan listrik ditiadakan karena semakin menyedot dana bagi upaya-upaya peningkatan daya saing bangsa.

"Selain tidak adil bagi rakyat yang tidak mampu, subsidi minyak sudah mencapai Rp200 triliun per tahun. Angka ini sangat jauh melampaui biaya pembangunan infrastruktur yang hanya Rp50 triliun per tahun," katanya.
(*)

Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2011