Conakry (ANTARA News/AFP) - Presiden yang belum lama menjabat di Guinea selamat dari serangan roket terhadap kediamannya yang menewaskan seorang penjaga Selasa (19/7) dan mengakibatkan ditangkapnya mantan kepala Angkatan Darat di negara yang rentan kudeta itu.
Alpha Conde menyeru rakyat negeri tersebut agar tenang setelah sekelompok tentara merah melepaskan tembakan ke kediamannya pada malam hari. Peristiwa itu memicu pertempuran selama dua jam, yang mengguncang presiden Guinea yang pertama kali terpilih secara demokratis tersebut, setelah tujuh bulan ia memangku jabatan.
Ia dengan cepat mengeluarkan jaminan bahwa serangan tersebut, yang dikutuk "keras" oleh Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon, bukan upaya kudeta.
"Ini adalah upaya pembunuhan", tapi "bukan kudeta", kata Conde kepada Radio France Internationale, sebagaimana dikutip AFP --yang dipantau ANTARA di Jakarta, Rabu. Ia mengumumkan dua aktor utama, "kepala militer pembangkang", telah ditangkap.
Ia tak menyebutkan nama mereka, tapi mantan kepala Angkatan Darat Nouhou Thiam --yang dipecat oleh presiden itu tak lama setelah ia memangku jabatan-- ditangkap segera setelah serangan tersebut, kata istrinya kepada AFP.
Conde mengatakan kepada stasiun televisi negara anggota pengawal presidennya, yang salah satunya tewas dalam baku-tembak sementara dua lagi cedera, berperang "dengan sangat berani" dalam baku-tembak dua-jam sampai bantuan tiba sekitar pukul 05:00 waktu setempat.
Ia menyatakan ia selamat sebab ia tak tidur di kamar tidur ketika ruangan tersebut diledakkan dengan menggunakan bazooka dan granat berpeluncur roket.
"Saya mendesak kalian agar tenang, tapi (juga) siaga dan memelihara persatuan nasional," kata Conde kepada rakyat Guinea. "Saya tak ingin reaksi apapun dari rakyat. Jangan ada reaksi terhadap siapa pun; biarkan tentara dan pasukan keamanan melakukan tugas mereka."
Ketegangan itu terjadi tujuh bulan setelah Conde memangku jabatan sesudah kemenangannya atas pesaingnya, Cellou Dalein Diallo dalam pemilihan umum demokratis pertama di negeri tersebut sejak kemerdekaannya dari Prancis pada 1958.
Diallo, yang berada di Dakar, menyerukan penyelidikan dan mengatakan kepada AFP serangan tersebut "sangat disesalkan".
"Saya harap itu tak mempengaruhi persatuan bangsa, proses demokratis dan susunan masyarakat yang memang sudah rapuh," kata orang yang kini menjadi pemimpin oposisi itu, yang belum lama ini telah mencela "kecenderungan otokratis" pemerintah baru.
Pemilihan umum November di Guinea mendapat pujian masyarakat internasional sebagai pemungutan suara yang transparan kendati polisi melakukan penindasan atas protes yang menewaskan tujuh orang dan melukai ratusan orang lagi. (C003/K004)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011