Beijing (ANTARA News) - Sedikitnya empat orang, termasuk satu polisi, tewas ketika massa menyerang sebuah kantor polisi di wilayah bergolak Xinjiang, China, Senin, kata kantor berita resmi Xinhua, seperti dikutip AFP.
Penyerang, yang tampaknya berasal dari minoritas Muslim Uighur, membakar kantor polisi itu, yang terletak di kota terpencil Hotan di China baratlaut, dan menyandera sejumlah orang, kata laporan itu.
Dua dari mereka yang tewas adalah sandera, satu petugas keamanan dan satu lagi polisi, tulis Xinhua, mengutip sumber-sumber di kementerian keamanan umum.
Menurut kantor berita itu, polisi menembak dan membunuh sejumlah penyerang, namun tidak ada penjelasan terinci lebih lanjut, dan keadaan kini telah terkendali.
Polisi "segera berkumpul di lokasi itu dan menembak sejumlah perusuh sambil membebaskan enam sandera", kata laporan tersebut, mengutip sumber-sumber itu. Korban yang terluka, termasuk petugas keamanan, dibawa ke rumah sakit, tambahnya.
Seorang juru bicara Kongres Uighur Dunia yang berpusat di Jerman mengatakan, bentrokan meletus setelah sekelompok orang Uighur berusaha membawa sejumlah polisi untuk meminta mereka membebaskan anggota-anggota keluarga mereka yang ditahan.
"Orang-orang Uighur bergegas ke kantor polisi itu untuk membawa sejumlah polisi dan meminta mereka membebaskan orang-orang Uighur yang ditangkap," kata Dilxat Raxit kepada AFP melalui telefon.
"Bentrokan terjadi. Polisi kemudian melepaskan tembakan. Tiga-belas orang ditangkap oleh polisi, dan satu orang cedera serius," tambahnya.
Menurut Raxit, wanita dan pelajar termasuk diantara kelompok itu, dan ia mendesak polisi China "menghormati tuntutan politik Uighur", menunjuk pada pembatasan agama di Hotan dan pengambilan tanah warga Uighur.
Ibu kota Xinjiang, Urumqi, menjadi pusat kerusuhan terburuk di China dalam beberapa dasawarsa pada 5 Juli 2009.
Kerusuhan itu merenggut hampir 200 jiwa dan mencederai sekitar 1.700 orang.
Kekerasan yang dialami orang Uighur itu telah menimbulkan gelombang pawai protes di berbagai kota dunia seperti Ankara, Berlin, Canberra dan Istanbul.
Orang Uighur berbicara bahasa Turki dan Perdana Menteri Turki Recep Tayyip Erdogan adalah yang paling keras melontarkan kecaman saat itu dan menyebut apa yang terjadi di Xinjiang sebagai "semacam pembantaian".
Orang-orang Uighur di pengasingan mengklaim bahwa pasukan keamanan China bereaksi terlalu berlebihan atas protes damai dan menggunakan kekuatan mematikan.
Delapan juta orang Uighur, yang memiliki lebih banyak hubungan dengan tetangga mereka di Asia tengah ketimbang dengan orang China Han, berjumlah kurang dari separuh dari penduduk Xinjiang.
Bersama-sama Tibet, Xinjiang merupakan salah satu kawasan paling rawan politik dan di kedua wilayah itu, pemerintah China berusaha mengendalikan kehidupan beragama dan kebudayaan sambil menjanjikan petumbuhan ekonomi dan kemakmuran.
Beijing tidak ingin kehilangan kendali atas wilayah itu, yang berbatasan dengan Rusia, Mongolia, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Tajikistan, Afghanistan, Pakistan dan India, dan memiliki cadangan minyak besar serta merupakan daerah penghasil gas alam terbesar China.
Namun, penduduk minoritas telah lama mengeluhkan bahwa orang China Han mengeruk sebagian besar keuntungan dari subsidi pemerintah, sambil membuat warga setempat merasa seperti orang luar di negeri mereka sendiri.
Beijing mengatakan bahwa kerusuhan itu, yang paling buruk di kawasan tersebut dalam beberapa tahun ini, merupakan pekerjaan dari kelompok-kelompok separatis di luar negeri, yang ingin menciptakan wilayah merdeka bagi minoritas muslim Uighur.
Kelompok-kelompok itu membantah mengatur kekerasan tersebut dan mengatakan, kerusuhan itu merupakan hasil dari amarah yang menumpuk terhadap kebijakan pemerintah dan dominasi ekonomi China Han. (M014/K004)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011