Jakarta (ANTARA News) - Dosen Etika dan Hukum Media Program Pasca Sarjana Komunikasi Universitas Airlangga, Dr Henry Subiakto mengkritik pers dengan menyatakan, media seyogianya harus lebih "fair" memperlakukan Susilo Bambang Yudhoyono.

"Hampir setiap hari Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Presiden maupun sebagai Dewan Pembina Partai Demokrat (PD) dikritik. Hampir tiada hari tanpa kritik terhadap Pemerintahan Yudhoyono," ujarnya melalui jejaring komunikasi kepada ANTARA di Jakarta, Senin.

Namun, menurutnya, tatkala media gantian dikritik, reaksinya begitu keras terhadap kritik itu.

"Misalnya ketika Dipo Alam (Sekretaris Kabinet) mengkritik media, maka serentak media mencerca Dipo dan para pengamat membela media," ungkapnya.

Begitu pula ketika Yudhoyono mengkritik media yang dianggapnya telah memojokkan para petinggi Demokrat, melalui pemberitaan berdasar pesan singkat (SMS atau BBM).

"Pesan singkat itu berasal dari orang yang mengaku sebagai Nazaruddin (mantan Bendahara Demokrat). Karena (Yudhoyono) kritik itu, kembali Yudhoyono dianggap menyalahkan pers," ujarnya.

Akibatnya, demikian Henry Subiakto, seperti koor para pengamat mendukung media dan menyalahkan Yudhoyono, termasuk Dewan Pers pun sigap bersikap demikian.


Seakan Media Suci

Ia menilai, ada yang tidak "fair" di sini. "Para pengamat begitu getol menjadi pembela-pembela media, seakan media itu suci dan selalu benar, dan tidak ada muatan politik di dalamnya," katanya.

Padahal, menurutnya, bukan rahasia umum media itu amat dekat dengan kepentingan politik, apalagi yang dimiliki oleh tokoh-tokoh politik.

"Hampir semua informasi itu tidak pernah steril dari kepentingan politik. Itulah yang dikemukakan oleh Noam Chomsky," tuturnya, tanpa berani menunjuk media-media mana yang dimaksudnya sebagai pembawa kepentingan politik.

Sementara itu, lanjutnya, dalam konteks pemberitaan pesan-pesan "SMS atau BBM dari Nazaruddin", jelas mengandung persoalan etika jurnalistik.

"Nazaruddin yang jelas-jelas pernah bohong (pembohong) bukanlah narasumber yang kredibel untuk objektivitas berita. Nazaruddin bohong tatkala mengatakan tidak kenal Pindo Rosalina Manulang (tersangka kasus suap Wisma Atlet SEA Games), yang ternyata adalah karyawannya," paparnya.

Selain itu, Henry Subiakto meyakini, Nazaruddin juga bohong tatkala mengatakan tidak memberi uang pada Sekjen Mahkamah Konstitusi.

"Artinya kebohongan Nazaruddin sudah banyak terbukti (meski belum melalui proses pengadilan)," ujarnya meyakinkan (seolah sudah benar-benar ada bukti Nazar memang berbohong).


Nara Sumber Bohong

Henry Subiakto yang merupakan salah satu sahabat Dipo Alam menambahkan, dalam etika jurnalistik, narasumber berita itu kalau pernah bohong, menjadi tidak layak untuk dijadikan narasumber utama.

"Karena, kalau narasumber itu bohong, maka media menjadi kepanjangan ikut menyebarkan kebohongan," katanya tanpa menyebut berita mana yang disebut `bohong`, apakah dari Nazaruddin langsung (setelah diverifikasi media-media bersangkutan), atau berita melalui pengacaranya, OC Kaligis.

Henry Subiakto hanya mengatakan, di sinilah persoalan etikanya, tatkala seseorang sudah berbohong dan kemudian melarikan diri, berarti kredibilkitas sebagai narasumber secara jurnalistik hancur.

Dia juga tak menjelaskan, kenapa media-media sejak dulu memang lebih suka mengejar "whistle blower" di mana pun dia, dalam kondisi apa pun narasumber itu, karena yang pasti, publik sangat butuh informasinya.

Henry malah tetap pada dalilnya, yang kembali "mengkambinghitamkan" media, karena dianggap lebih percaya pada narasumber bohong, karena menurutnya, adanya kecenderungan menyalahkan pihak sedang berkuasa.

"Lain halnya kalau Nazaruddin itu tidak pernah bohong atau bertanggungjawab. Itu salah satu prinsip `journalism` objektif dalam mencari narasumber," kilahnya.

Ditambahkannya, hal seperti ini tidak dilihat oleh para pengamat, atau aktivis (mungkin juga maksudnya Dewan Pers), karena sejak awal sudah ada kecenderungan untuk membela media.

"Saya ingin memberi tip, bahwa syarat pentingnya menghindari narasumber yang pernah berbohong itu ada dalam buku `9 Elemen Jurnalistik` yang ditulis oleh Bill Kovach," katanya berteori dan mencoba menggurui pers.

Namun dia juga masih mengaitkan ini dengan soal Nazaruddin, yaitu, katanya, dalam jurnalisme, orang ini bukanlah "wistle blower" yang ingin membongkar kasus karena keinginan mulia.

Bagi dia, Nazaruddin merupakan orang yang sudah ditetapkan sebagai tersangka dan melarikan diri.

Artinya, menurutnya, orang yang sudah berbohong dan lari tatkala dijadikan sebagai tersangka, tentulah tidak "fair" kalau ditempatkan sebagai narasumber.

"Di situlah persoalan etika yang diabaikan oleh media kita," pungkas Henry Subiakto, tanpa menyebut lagi, sebagian terbesar informasi dari Nazaruddin, diberikannya ketika masih belum berstatus tersangka, baik itu langsung (melalui jejaring komunikasi), investigasi pers, atau via pengacaranya, OC Kaligis.(*)

(T. M036/S019)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011