Jakarta, (ANTARA News) - Fungsi kawasan hulu sungai Citarum sebagai daerah tangkapan air atau Hidrologi semakin menurun karena proses degradasi sumber daya hutan yang sangat parah akibat interaksi masyarakat sekitar kawasan dalam bentuk perambahan hutan.
Hal itu dikemukakan oleh salah satu wakil dari Lembaga Swadaya Masyarakat Bina Mitra Bandung Nenden Sarirahayu di Jakarta, Rabu (25/1).
Menurut Nenden, perambahan tersebut terjadi oleh karena enam hal, yakni pertama adalah pengaruh laju pertumbuhan penduduk yang tinggi sehingga dibutuhkan lahan yang semakin luas.
Kedua adalah krisis ekonomi dan moneter yang berkepanjangan sejak akhir 1997 yang memicu sekelompok orang untuk memanfaatkan masyarakat sekitar hujan untuk melakukan perambahan hutan dijadikan sebagai lahan pertanian karena kondisi tanah yang subur dan cocok untuk sayur mayur dan permintaan pasar yang tinggi.
Ketiga, adalah surat dari Bupati Kabupaten Bandung nomor 522.4/1294/LH tertanggal 23 Juni 1998 dan surat Gubernur Jawa Barat nomor 2000/522.4/BLH/1998 yang antara lain memuat tentang diperbolehkannya penggarapan lahan kawasan hutan dengan sistem tumpang sari yang pada awalnya untuk menanggulangi kerawanan pangan tetapi akhirnya berdampak pada terbukanya peluang terjadinya perambahan kawasan hutan.
"Yang keempat adalah penyalahgunaan penyaluran dana kredit usaha tani (KUT) yang mudah diperoleh dengan agunan "garapan" di lahan hutan walaupun ilegal," katanya.
Sedangkan hal yang kelima adalah euforia reformasi yang disalahartikan oleh pihak-pihak tertentu yang ingin mengambil keuntungan dengan memicu terjadinya perambahan lahan hutan.
Dan yang keenam adalah kualitas sumber daya manusia sekitar kawasan yang masih lemah.
"Kondisi kawasan hulu sungai Citarum yang semakin krisis dapat mengancam kepentingan publik dari tingkat desa hingga nasional karena kawasan tersebut merupakan penyangga utama suplai air bagi tiga waduk yaitu Saguling, Cirata dan Jatiluhur yang merupakan sumber utama energi tenaga listrik Jawa-Bali," katanya.
Walaupun begitu, menurutnya, melalui proses pemberian fasilitas dan mediasi maka terjadi kesepakatan antara pemerintah dan penggarap bahwa mereka bersedia menghentikan tumpang sari sayur di kawasan hutan apabila pemerintah mendukung pengalihan lokasi pertanian sayur, pengalihan profesi dan pengalihan komoditi.
"Tetapi potensi itu tidak akan ditermanfaatkan secara optimal apabila tidak disertai dengan peningkatan kualitas SDM sekitar kawasan untuk meningkatkan posisi tawar masyarakat terhadap pihak luar sebagai upaya antisipasi bahwa masyarakat dijadikan objek dari program," ujarnya.
Oleh karena, menurutnya, proses pemberdayaan bagi masyarakat di kawasan Citarum hulu harus dilakukan paling sedikit selama lima tahun terus menerus.(*)
Copyright © ANTARA 2006