Denpasar (ANTARA News) - Guru Besar Universitas Udayana, Prof Dr I Wayan Windia, MS mengingatkan petani Bali hendaknya meniru prilaku dan keteguhan hati petani di Subak Lodtunduh, perkampungan seniman Ubud, Kabupaten Gianyar, tidak menjual sawah untuk kepentingan di luar pertanian.
"70 petani yang menggarap lahan seluas 30 hektare di kawasan wisata Ubud itu sepakat tidak menjual sawah, kalaupun terpaksa menjual harus ada kesepakatan dan jaminan fungsi sawah tetap dipertahankan," kata Prof Windia, di Denpasar, Sabtu.
Prof Windia pemimpin penelitian tentang model pengembangan agrowisata dalam wilayah organisasi pengairan tradisional bidang pertanian (subak).
Ia mengatakan, jika seluruh petani Bali mempunyai tekad dan pendirian yang kuat seperti petani di Subak Lodtunduh, Ubud, Subak di Bali ke depan akan tetap kokoh dan eksis ditengah perkembangan dan persaingan ekonomi Bali yang sangat ketat.
Hal itu menjadi penekanan, mengingat lahan sawah yang beralih fungsi ke non pertanian di Bali mencapai 5.206 hektare selama kurun waktu lima tahun terakhir, 2005-2010, sehingga setiap tahunnya Pulau Dewata kehilangan sawah rata-rata 1.380 hektare.
Lahan sawah beriigasi di Bali pada 2005 tercatat 87.850 hektare, namun sekarang tersisa 82.664 hektare. Ribuan hektare lahan pertanian beralih fungsi itu untuk memenuhi lokasi pembangunan berbagai aspek kehidupan, termasuk pembangunan hotel dan fasilitas pariwisata.
Selain itu juga untuk memenuhi lokasi pembangunan perumahan dan pemukiman, khususnya perumahan yang berkembang pesat di wilayah Kota Denpasar, Kabupaten Badung, Gianyar dan Kabupaten Tabanan.
Prof Windia yang juga dosen Fakultas Pertanian Unud itu menambahkan, jika alih fungsi lahan pertanian secara besar-besaran itu tidak segera diatasi, dikhawatirkan lahan pertanian di Bali semakin menyusut dan ketahanan pangan sulit dapat dipertahankan.
Selain itu dikhawatirkan Bali kehilangan keunikan seni budaya Bali, karena subak selama ini memiliki fungsi ganda, termasuk sebagai aset keunikan budaya Bali yang telah dikenal dunia internasional.
Oleh sebab itu subak yang keberadaannya semakin mendapat desakan akibat pesatnya pembangunan dalam berbagai aspek kehidupan di Pulau Dewata itu perlu terus dijaga keberadaan dan kesinambungannya.
Peran strategis sebagai peyangga ketahanan pangan, lembaga yang berwatak sosio-kultural itu memiliki kelemahan, yakni ketidak-mampuan dalam melawan intervensi pihak eksternal.
Hal itu tercermin dari ketidak-mampuan subak memberikan respons yang sepadan terhadap banyaknya pengambilan air irigasi oleh perusahaan daerah air minum (PDAM), komponen sektor pariwisata, pencemaran sampah yang masuk ke saluran irigasi serta meningkatnya nilai pajak bumi dan bangunan (PBB), ujar Prof Windia.
Prof Windia memimpin penelitian model pengembangan agrowisata dalam subak, guna mencari model yang tepat untuk pengembangan agrowisata berbasis subak di Bali.
Penelitian itu dibiayai dana hibah bersaing dari Kantor Kementerian Pendidikan Nasional melibatkan ratusan petani pada tiga subak, masing-masing subak Anganbaya, Penatih Kecamatan Denpasar Timur Kota Denpasar, Subak Lodtunduh Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar dan Subak Guama di Kabupaten Tabanan.
Penelitian subak tersebut merupakan bagian dari kebudayaan Bali melibatkan sejumlah dosen dan mahasiswa, termasuk Ir Ketut Suamba yang sedang menyelesaikan program S-3 (doktor) di Universitas Brawijaya Malang, tutur Prof Windia. (I006/K005/K004)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011