Jakarta (ANTARA News) - Mengapa pelaksanaan program jaminan sosial nasional tidak berjalan, sementara UU Sistem Jaminan Sosial Nasional SJSN sudah ditandatangani tujuh tahun lalu (2004). Argumennya bermacam-macam, termasuk kemampuan keuangan negara, atau alasan politis karena UU No 40/2004 tentang SJSN adalah produk pemerintah sebelumnya, Megawati Soekarnoputri.

Seperti diketahui UU SJSN ditandatangani menjelang lengsernya Megawati dari jabatan Presiden. Banyak pihak menuding UU ini dibuat secara tergesa-gesa sehingga banyak "bolong-bolong". Seperti penyesuaian dan harmonisasi dengan UU sebelumya.

Sejarahnya mencatat, tujuh tahun sejak diundangkan tidak ada tindak lanjut untuk mewujudkannya dalam bentuk nyata. Semua masih dalam bentuk kertas dan tulisan mati tanpa pengejawantahahan, kecuali pembentukan Dewan Jaminan Sosial Nasional.

Kini, seperti UU induknya RUU BPJS juga dibahas secara tergesa-gesa sehingga terkesan yang penting ada untuk kemudian terlupakan. Di sisi lain, Panja DPR seperti ingin melakukan kerja besar, menata ulang sistem jaminan sosial dengan mengubah sistem, program dan lembaga penyelenggara jaminan sosial.

Seperti melupakan sejarah, Panja mengabaikan pentahapan berdiri dan keberadaan BPJS yang ada, yakni PT Taspen, PT Asabri, PT Askes dan PT Jamsostek. Lembaga yang didirikan untuk melayani segmen tertentu (PNS, TNI, Polri dan pekerja swasta) itu mengacu pada dasar hukum yang berbeda.

Diperkirakan sedikitnya terdapat 16 peraturan perundangan yang harus diubah jika ingin mengubah program dan badan hukum keempat BPJS itu. Sayangnya, UU SJSN tidak mengamanatkan perubahan perundangan tersebut.

Semangat menata ulang semua bagian dari sistem jaminan sosial nasional secara idea merupakan upaya mulia. Namun, semua pihaknya hendaknya memijak bumi atau berpegang kondisi riil keuangan negara.

Kebangkrutan

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofyan Wanandi memperkirakan Indonesia akan mengalami kebangkrutan jika melaksanakan sistem jaminan sosial nasional untuk seluruh rakyat Indonesia secara sekaligus tanpa mempertimbangan kemampuan keuangan negara.

Karena itu, dia meminta pemerintah dan DPR hati-hati dalam menentukan arah pelaksanaan sistem jaminan sosial.

Perhatikan kemampuan keuangan negara. Karena kemampuan anggaran saat ini kurang sehat. Hanya sekitar 8 persen yang bisa digunakan untuk pembangunan, sedangkan sisanya untuk pembiayaan rutin dan membayar hutang.

Indikasinya bisa dilihat dari kemampuan negara yang hanya bisa membangun jalan raya 130 kilometer dalam lima tahun sedangkan sedangkan China mampu hingga 5000 kilometer pertahun.

Bagaimana Indonesia mau maju dan investasi datang jika sarana dan prasarana selalu bermasalah. Kini jika ditambahi beban jaminan sosial lagi, maka pembangunan akan mandeg.

Dia pernah bertanya ke eksekutif apakah mereka mampu bayar jaminan sosial? Jawabannya tidak meyakinkan karena sebagian besar anggaran (70 persen) tersedot untuk biaya rutin dan biaya pegawai.

Sejumlah negara maju, seperti AS, Jepang, dan beberapa negara Eropa terancam kebangrutan karena anggaran belanjanya defisit dibebani oleh pembiayaan yang memberatkan untuk kesejahteraan rakyat, termasuk iuaran sistem jaminan sosial (social security).

Komposisi golongan tua (pensiun) semakin besar karena angka harapan hidup semakin tinggi, sedangkan kalangan muda (pekerja) semakin kecil. Dampaknya, pemerintah harus mengalokasi dana yang semakin besar bagi pensiunan dan sakit-sakitan, sementara iuran dari pekerja semakin berkurang.

Karena itu, pada awal pembahasan RUU SJSN disepakati untuk memprioritaskan jaminan layanan kesehatan untuk masyarakat miskin dan tidak mampu, sementara jaminan sosial lainnya, seperti kecelakaan, kematian, pensiun akan diatur belakangan.

Sofyan mengakui tidak membaca "white paper" (buku putih) yang menjadi acuan usulan sistem jaminan sosial dari pemerintah, khususnya Menteri Keuangan, namun, sejak awal dia sudah menolaknya karena yakin isinya tidak bisa dilaksanakan oleh pemerintah.

Hal itu terbukti, sejak UU SJSN disahkan tujuh tahun lalu pemerintah tidak mampu melaksanakannya.

Dia melihat tidak hanya dari segi program, tetapi juga terdapat sejumlah peraturan perundangan yang harus dibenahi agar tidak tumpang tindih, seperti UU mengatur pensiun, jaminan sosial tenaga kerja dan asuransi kesehatan.

Karena itu dia mengingatkan pemerintah dan DPR tidak menggunakan dana buruh dan pengusaha yang tersimpan di PT Jamsostek untuk mensubsidi iuran bagi penduduk miskin dan tak mampu.

Sofyan ingin dana pekerja tetap aman dan benar-benar dikelola sepenuhnya untuk kesejahteraan pekerja, meskipun saat ini dia belum puas dengan capaian yang ada.

Kondisi itu terjadi karena manajemen PT Jamsostek terbelengu untuk menginvestasikan dananya bagi kepentingan pekerja.

Namun, apapun, Sofyan ingin pemerintah menyisihkan dana bagi penduduk miskin dan tak mampu dan tidak mengambilnya dari dana pekerja.


Jaminan Kesehatan

Jika tidak bisa memberikan jaminan sosia bagi semua program, apakah keuangan negara mampu memberikan jaminan kesehatan bagi penduduk miskin dan tidak mampu?

Mantan Menkes Siti Fadilah Supari menilai pemerintah mampu melaksanakan jaminan layanan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia melalui APBN.

Siti sudah pernah melaksanakan jaminan kesehatan masyarakat yang diperuntukan bagi masyarakat miskin dan mampu saat menjadi Menkes dan dia menilai cukup berhasil.

Dia mengalokasi dana Rp5000 perorang dan mampu melayani sekitar 60 juta warga miskin dan tak mampu dengan dana Rp5,1 triliun yang berasal dari APBN.

Saat itu dia mendapat jaminan dari Presiden bahwa dana Jamkesmas itu tidak akan diganggu atau dipergunakan untuk keperluan lain.

Diakui, banyak kendala dihadapinya, termasuk teror dan intimidasi dari berbagai pihak, termasuk dari sektor swasta yang dinilai mengambil lahan mereka.

Kini, jika pemerintah berkomitmen untuk melaksanakan jaminan layanan kesehatan bagi seluruh warga maka diperlukan dana sekitar Rp27 triliun. Info yang diperolehnya sudah ada anggaran Rp7 triliun yang diperuntukan bagi Jamkesmas. Tinggal mencari sisanya senilai Rp20 triliun.

Diungkapkannya, saat ini terdapat sekitar Rp59 triliun dana yang diperuntukan bagi bantuan sosial yang tidak jelas peruntukannya yang tersebar disejumlah instansi.

Jika disisihkan Rp20 triliun dari dana bantuan sosial itu untuk keperluan jaminan layanan kesehatan maka semua warga terjamin untuk mendapat layanan kesehatan.

Permasalahannya, audit program Jamkesmas masih "disclaimer", sehingga efektivitas programnya masih dipertanyakan. Tanpa harus berlarut pada kesalahan sebelumnya, progran jaminan layanan kesehatan bagi masyarakat miskin dan tak mampu layak diwujudkan.

Alasannya, karena program itu menjamin bahwa masyarakat lapisan bawah sekalipun memiliki akses pada kesehatan. Hal itu sudah sesuai dengan amanat UUD 1945 bahwa orang miskin dan tak mampu dipelihara oleh negara.(*)
(T.E007/R009)

Oleh Erafzon SAS
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011