"Tentunya hak tenurial ini terkait dengan keseimbangan luasan lahan konservasi hutan dan untuk kepentingan pertanian. Ini harus dilakukan penentuannya secara hati-hati oleh tiap negara. Indonesia telah menegaskan komitmennya memperluas lahan dalam hak tenurial ini," katanya kepada ANTARA di Senggigi, Nusa Tenggara Barat, Rabu kemarin.
Mueller memimpin delegasi FAO dalam Konferensi Internasional tentang Tenurial, Pengelolaan, dan Pengusahaan Hutan yang dihadiri ratusan peserta dari manca negara.
Konferensi itu melibatkan pihak pemerintahan banyak negara, ahli-ahli kehutanan, konversi, ekonomi, tokoh masyarakat adat, LSM, dan kalangan akademisi serta pengusaha.
Mueller menyatakan, "Hak tenurial ini disadari semakin krusial untuk diimplementasikan. Ini sesuai dengan tujuan bersama dalam komitmen Millenium Development Goal satu hingga ketujuh, yang pada pokoknya juga membahas keamanan dan keseninambungan pangan dunia."
Banyak masalah dan konflik berdarah terjadi yang bermula dari hak-hak tenurial masyarakat di kawasan hutan. Banyak negara yang mengklaim bahwa hutan dan kawasan hutan semata-mata menjadi milik negara yang bisa dialihgunakan sesuai garis pembangunan negara.
Dalam kaftan itu, hak hidup masyarakat asli setempat tidak menjadi hal penting lagi. Contoh paling nyata adalah hak pengusahaan hutan di Indonesia yang sering merampas ruang hidup dan adat banyak subsuku bangsa di Tanah Air yang berujung pada konflik berdarah.
"Untuk mengatasi itu, diperlukan pengenalan masalah dari pemerintah. Ini bukan cuma terjadi di Indonesia, namun juga di banyak negara lain di dunia ini dan kami sedang bekerja keras untuk memberikan asistensi dan pembangunan kapasitas," katanya.
Salah satu bentuk upaya itu adalah membuat buku panduan praktis bagi para peletak kebijakan yang terkait dengan hak tenurial masyarakat asli setempat itu.
Menurut data di dalam buku panduan itu, 80 persen luas hutan dunia dimiliki oleh publik sekali pun terjadi peningkatan dalam kepemilikan dan pengelolaan hutan itu berada di tangan komunitas, pribadi, dan perusahaan swasta.
Kasus Indonesia sangat unik, karena sebagai negara dengan luasan hutan terluas ketiga di dunia, angkanya justru sangat terbalik.
Kurang dari satu persen dari 141 juta Hektare luasa hutan Indonesia dikuasakan hak tenurialnya kepada masyarakat asli setempat. China dengan sistem pemerintahan komunisnya bisa meningkatkan angka itu hingga 58 persen dalam 20 tahun terakhir, demikian juga 25 persen untuk Brazil.
Pemerintah India juga telah mengubah paradigma birokrasinya tentang hak tenurial ini sejak belasan tahun lalu, yang dimulai dari penentuan definisi dan klasifikasi hutan dan masyarakat adat setempat.
Setelah itu selesai dilanjutkan dengan pembentukan payung hukum formal yang mengikat terhadap pemberian hak tenurial ini.
FAO mencatat, di beberapa negara Amerika Latin, diantaranya Venezuela dan Guyana Prancis, hampir seluruh kawasan hutannya dimiliki publik, sementara di Paraguay, Honduras, Guatemala, Kosta Rika, dan Chile lebih dari 30 persen kawasan hutannya dimiliki secara pribadi.
Peru, Guyana, dan Kosta Rika angka pengalihan hak penguasaan dan akses hutan kepada masyarakat setempat ini jauh melampaui Indonesia yang di bawah satu persen itu. Ketiga negara Amerika Latin itu berada di kisaran 10 persen.
Menurut Mueller, reformasi hak tenurial hutan ini akan memberdayakan masyarakat yang selama ini termarjinalisasi, terutama perempuan dan kalangan papa. Penelitian FAO pada 2010 menyatakan, eksistensi pohon besar dan hutan menjadi lebih penting bagi kalangan perempuan ketimbang lelaki.
Di Madagaskar, sebagai contoh, perempuan miskin di satu komunitas di sana mendapatkan 37 persen penghasilannya dari produk-produk hutan, ketimbang angka 22 persen bagi lelaki. Di Provinsi Andhra Pradesh, India, angka itu jauh lebih tinggi, yaitu 77 persen.
(A037/S026)
Pewarta:
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2011