"Pencabutan undang-undang itu perlu segera dilakukan karena sampai sekarang tata kelola migas di Indonesia lebih buruk dibandingkan negara tetangga. Contoh, Filipina, Vietnam, dan Kamboja," kata Pengamat Energi dan Sumber Daya Mineral, Kurtubi, ditanya terkait pengelolaan migas nasional, di Surabaya, Kamis.
Menurut Kurtubi, UU Migas No.22/2001 sudah cacat karena Mahkamah Konstitusi telah mencabut beberapa pasal pokok. Salah satunya, pasal 22 ayat 3 tentang kuasa pertambangan.
"Padahal, idealnya kuasa pertambangan ada di tangan Badan Usaha Milik Negara/BUMN," ujarnya.
Di sisi lain, ungkap dia, undang-undang tersebut mengakibatkan kondisi investasi migas di Indonesia menjadi yang terburuk di dunia. Bahkan, mempengaruhi kinerja produksi/lifting minyak yang turun karena nyaris nihil penemuan cadangan baru.
"Undang-undang migas juga berpotensi merugikan negara ratusan triliun rupiah mengingat bagian negara harus dijual oleh pihak ketiga," katanya.
Selain itu, tambah dia, gas negara dijual murah ke China sedangkan PLN, industri dalam negeri, dan sektor transportasi kekurangan gas. Dampak selanjutnya, blok-blok produksi migas yang sudah selesai kontrak sulit diambil alih langsung karena BP Migas tidak bisa meneruskan operasinya.
"Apalagi, BP Migas bukan perusahaan minyak," katanya.
Di samping itu, ulas dia, BP Migas atau Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral/ESDM justru menyetujui pengalihan saham Block West Madura Offshore kepada dua perusahaan beberapa hari menjelang berakhirnya kontrak.
"Permasalahan tersebut memicu kemarahan masyarakat sehingga mereka melapor ke KPK," katanya.
Sementara, lanjut dia, idealnya selesai kontrak Block West Madura Offshore tersebut harus dikembalikan ke negara. Bahkan, ada baiknya Pertamina sebagai perwakilan publik mendapatkan jatah 100 persen.
"Bukan 80 persen untuk Pertamina, 10 persen Jatim, dan 10 persen swasta," katanya.
Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2011