Jakarta (ANTARA News) - Suratkabar Mingguan News of The World milik raja media massa Rupert Murdoch di London, Inggris, pada Minggu, 10 Juli 2011, dinyatakan harus “mengakhiri hidup”, setelah di kawasan Eropa Barat tercatat telah berusia 168 tahun.

Sejarah pers atau media massa mencatat bahwa informasi penutupan atau tidak terbitnya News of the World yang bertiras 2,7 juta eksemplar untuk selama-lamanya itu diumumkan sendiri oleh putera Rupert Murdoch, James Murdoch.

Tindakan pemilik suratkabar mingguan News of The World untuk mengakhiri “masa hidup” media cetak tersebut mengundang desah keheranan, tanda tanya bahkan ketidak mengertian apakah itu bagi orang awam atau komunitas media massa. Namun, hal itu juga tidak mustahil menimbulkan kekaguman yang luar biasa dari komunitas media massa atas keberanian dan pertanggungjawaban Murdoch atas perangai suratkabar dan wartawan serta redakturnya sendiri.

Skandal peretasan dan penyadapan telepon yang dilakukan oleh anggota redaksi News of the World pada periode 2003 – 2007 telah melibatkan Andy Coulson, mantan direktur komunikasi pada Kantor Perdana Menteri Inggris, David Camerron. Bahkan, mantan pemimpin redaksi News of the World periode 2000 – 2002 bernama Rebekah Brooks yang kini menjadi CEO – News International, induk perusahaan News of the World, terseret dalam skandal media massa Inggris karena ia dianggap mengetahui peretasan dan penyadapan yang dilakukan wartawannya.

Parlemen Inggris tahun 2007 pernah memanggil Chief Executive Officer (CEO) News International, Les Hinton yang juga tangan kanan Rupert Murdoch untuk dimintai keterangan, apakah ia telah melakukan penyelidikan internal di organisasi News of the World dan apakah ia meyakini sepenuhnya bahwa hanya ada satu orang wartawannya yang terlibat dalam kasus ini.

Kini empat tahun telah berlalu, suratkabar the “Guardian” secara rinci mengungkap skandal penyadapan yang dilakukan News of the World yang secara komprehensif memuat semacam informasi pembelaan dari wartawan yang namanya disebut oleh Hinton di depan parlemen Inggris yang merembet dan melibatkan nama dua editor News of the World bernama Rebekah Brooks (dulu Rebekah Wade) dan Andy Coulson.

Suratkabar Inggris lainnya, The Daily Telegraph memuat laporan bersumber dari keluarga para prajurit Inggris yang gugur di medan perang Irak dan Afghanistan yang menjadi korban peretasan dan penyadapan telepon.

Suratkabar mingguan Sunday Telegraph juga mengungkap bahwa aksi penyadapan terhadap kotak suara telepon secara ilegal ini diduga telah sering dilakukan bahkan menjadi “praktik standar” untuk memperoleh informasi khusus dan eksklusif dari sumber berita tertentu.

The Daily Telegraph juga melansir pemberitaan yang menunjukkan keterlibatan detektif swasta Glenn Mulcaire untuk mencari informasi dari para prajurit Inggris yang gugur untuk dimuat di News of the World. Akhirnya detektif swasta itu dan seorang wartawan News of the World telah dipenjarakan karena terbukti meretas dan menyadap telepon ajudan kerajaan Inggris untuk memperoleh informasi tentang kisah cedera lutut Pangeran William.

Polisi Inggris membuntut aksi penyadapan Mulcaire, yang ternyata juga dilakukan terhadap sumber-sumber berita yang lain layaknya politisi, selebriti dan juga korban pemboman di London Juli 2005.

Terungkapnya aksi meretas dan menyadap yang dilakukan News of the World tersebut mengundang reaksi dan kemarahan dari organisasi Legiun Veteran Inggris yang merasa tidak etis jika keluarga prajurit Inggris yang gugur di Irak dibuntuti dan disadap saluran teleponnya, memutuskan untuk tidak akan bekerjasama dengan News of the World apalagi memasang pengumuman atau iklan di suratkabar tersebut.

Pernyataan Legiun Veteran Inggris itu segera diikuti dengan pernyataan sikap yang sama dari beberapa perusahaan multinasional di Inggris untuk tidak memasang iklan di jaringan media massa milik kelompok Murdoch.

Murdoch yang kini berusia 80 tahun sudah mengumumkan sendiri penunjukkan Joel Klein, yang memimpin News Corp yang membawahi jaringan News International untuk melakukan penyelidikan skandal peretasan dan penyadapan ini. Dan di balik kerugian finansial akibat News of the World harus dihabisi sendiri masa hidupnya sebagai media cetak yang sudah berusia 168 tahun,

Murdoch juga secara terbuka dan jujur berani dengan tegas dan jelas mengakui bahwa peretasan dan penyadapan telepon termasuk pembelian informasi oleh wartawan dari pihak Kepolisian Metro London merupakan tindakan yang “tercela dan tidak bisa diterima”.

Kisah atau kasus harus diakhirinya masa hidup media cetak News of the World di Inggris yang telah berusia 168 tahun oleh pemiliknya sendiri merupakan pertanggungjawaban kelompok Murdoch kepada semua korban dari tindakan yang “tercela dan tidak bisa diterima” dari wartawan, redaktur dan pimpinan serta pemilik media cetak News of the World.

Ada aspek etika media dan dampak hukum dari tindakan peretasan dan penyadapan ilegal yang dilakukan wartawan News of the World bernama Clive Goodman dan Andy Coulson sebagai editor atau pimpinan redaksi juga harus bertanggungjawab karena menyetujui pembelian informasi dari pihak kepolisian Metro London, hal ini merupakan elemen baru dalam praktik jurnalistik investigasi yang tidak lazim.

Keputusan Andy Coulson sebagai pimpinan redaksi untuk menyetujui peretasan dan penyadapan, menyetuji pembelian informasi serta menyewa jasa detektif swasta Glenn Mulcaire memang menyiratkan karakter jurnalistik investigasi (jurnalistik penyelidikan) yang masuk kategori “tercela dan tidak dapat diterima” karena investigasi tidak dilakukan sendiri oleh News of the World tapi menggunakan jasa detektif swasta dan membeli informasi hasil sadapan pihak kepolisian London.

Dalam konteks kode etik jurnalistik wartawan Inggris (juga wartawan Indonesia), maka etika media dan dampak atau konsekwensi hukum kasus News of the World sudah termaktub di dalamnya, karena dari sisi kode etik dan konsekwensi hukum bisa dikatakan hak privasi para korban peretasan dan penyadapan telah diambil paksa untuk mendukung lahirnya suatu produk yang kemudian "diklaim" layaknya kinerja jurnalistik.

Situasi semacam itu menggambarkan betapa perangai media (media behavior) telah menabrak pagar etika media (media ethics) sehingga dalam bahasa dan pendappat seorang guru besar jurnalisnik emiritus Universitas Missouri, Colombia, bernama John Calhoun Merrill dalam kata pengantar buku “An Ethics Trajectory, Visions of Media Past, Present and Yet to Come” (John M Kittross, 2007) bahwa kasus semacam News of the World dan awak medianya nyata-nyata telah mengabaikan dengan sengaja faktor-faktor kredibilitas, keseriusan, kepentingan publik dan informasi yang bersifat etis.

Informasi yang diperoleh News of the World memang bisa saja disebut tergolong produk liputan investigasi, namun proses perolehan informasinya bisa dikategorikan sebagai informasi yang tidak etis, bahkan menabrak "hukum besi" kode etik jurnalistik dengan melanggar kepentingan pribadi publik maupun lembaga publik.

Bagaimanapun tindakaan pemilik dan manajemen media massa News of the World yang memutuskan untuk mengakhiri masa hidup media cetak yang sudah berusia 168 tahun ini merupakan tanggungjawab dan pembuktian pihak pemilik dan manajemen media untuk menerima sanksi sosial dan risiko liputan investigasi yang datang dari korban tindakan peretasan dan penyadapan apakah dalam bentuk penolakan terhadap kehadiran dan eksistensi media massa, termasuk untuk tidak memasang iklan, pengumuman dan kerjasama di suratkabar ini.

Dari kasus berakhirnya usia suratkabar mingguan News of the World di Inggris itu nampaknya komunitas media massa, apakah itu unsur manajemen media massa atau wartawan, dapat menarik pelajaran berharga dalam soal liputan investigasi yang memiliki kandungan masalah peretasan dann penyadapan sebagai bagian dari pengumpulan informasi dalam proses produk jurnalistik.

Pertanyaannya, apakah pengumpulan informasi dengan menyewa jasa dari detektif swasta dan membeli informasi dari pihak kepolisian nantinya akan dikategorikan sebagai tindakan tercela, tidak dapat diterima dan dianggap melanggar hukum? Dalam kode etik jurnalistik universal maupun yang disepakati 29 organisasi profesi wartawan/jurnalis/reporter Indonesia, kemudian disahkan Dewan Pers pada 2006, tidak membenarkan cara-cara semacam itu.

Hanya saja, Indonesia termasuk pasar potensial terhadap perangkat meretas dan menyadap, seperti pemantau taktis sistem lokasi (Tactical Monitoring and Location System/TMLS-2000) dan perangkat jinjing sistem pemantau dan perekam percakapan (Portable Monitoring & Recording System/PMRS-3) maupun pengacau sistem sinyal telepon seluler (GSM Interceptor) yang selama ini dapat dibeli secara langsung maupun dalam jaringan (daring) di Internet (online).

Bagaimanapun media massa sulit untuk bisa menjadi pemilik sekaligus pengguna (end-user) profesional yang secara sah bisa memanfaatkan perangkat peretas dan penyadapan tersebut. (*)

*) Petrus Suryadi Sutrisno (piets2suryadi@yahoo.com) adalah Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Informasi dan Pengajar Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS: www.lpds.or.id)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2011