Jakarta (ANTARA News) - Kontroversi peleburan empat badan penyelenggara jaminan sosial, yakni PT Taspen, PT Askes, PT Asabri, dan PT Jamsostek memasuki tahap akademis. Sejumlah akademisi menyumbang saran atas kebijakan yang sedang dibahas di Panja DPR itu.
Kontroversi itu muncul ketika timbul wacana peleburan empat Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kedalam satu wadah baru yang belum jelas wujudnya. Meskipun masih dalam tahap wacana, tetapi menimbulkan kekhawatiran banyak pihak, terutama dari kalangan pekerja, pengusaha (Apindo), bahkan pemerintah sendiri (Menneg BUMN).
Mereka menginginkan agar pemerintah fokus pada tujuan utama, yakni melayani jaminan sosial kesehatan bagi masyarakat miskin dan tak mampu.
Hal itu merupakan prioritas dan amanat dari UU SJSN yang merupakan pengejawantahan dari amanat UUD 45 tentang tanggung jawab negara dalam memenuhi hak-hak dasar warga negara, khususnya masyarakat miskin dan tak mampu.
Namun, pada perkembangannya, pemerintah dan DPR tidak fokus. Entah dari mana datangnya, muncul kesepakatan pembentukan dua BPJS baru, meskipun empat BPJS yang eksis tetap dipertahankan.
Namun, seperti membuka kotak pandora, ide liar muncul begitu saja, yakni mengutak-atik empat BPJS yang ada dan meleburnya dalam dua BPJS baru. Belum cukup, secara bertahap, kata ide liar itu, dua BPJS hasil peleburan (istilah Panja, transformasi) dalam satu BPJS tunggal.
Lalu semua pihak tersengat. Mereka yang bersidan di DPR seperti lupa dengan progam dan BPJS utama, yakni layanan jaminan sosial kesehatan bagi masyarakat miskin dan tak mampu. Semua energi lalu tersita pada peleburan tersebut, rapat-rapat dilakukan di sejumlah hotel bukan membahas prioritas utama.
Kalangan pengurusan serikat pekerja dan Apindo melontarkan penolakan peleburan BPJS. Tapi seperti, bersuara di padang pasir, DPR seakan tetap pada pendiriannya dan alpa mendengar konstituen dan "stake holder" BPJS, pekerja dan pengusaha.
Kini kalangan peneliti juga bersuara. Adalah peneliti senior LIPI Dr R Siti Zuhro yang angkat bicara dan mengingatkan pemerintah dan DPR untuk melakukan kajian akademis sebelum melebur empat badan penyelenggara jaminan sosial (BPJS) agar setiap kebijakan dan produk hukum yang dilahirkan bermanfaat bagi masyarakat luas.
Dia mengingatkan bahwa sebelumnya terdapat sejumlah kebijakan dan produk peraturan perundangan yang tidak efektif.
Misalnya, pembubaran Departemen Sosial dan Departemen Penerangan yang akhirnya dihidupkan kembali. Produk UU yang dinilainya kurang efektif dalam pelaksanaan adalah UU No.14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan UU No.25/2009 tentang Pelayanan Publik.
Karena itu Panja RUU BPJS hendaknya mengkaji lebih matang semua peraturan perundangan yang akan dihasilkan. Jangan menambah kebingungan dan kontroversi di kalangan masyarakat.
Dia mengingatkan terdapat sejumlah peraturan perundangan yang harus direvisi terlebih dahulu karena UU Sistem Jaminan Sosial Nasional yang menjadi acuan RUU BPJS tidak mengamanatkan revisi atas peraturan perundangan yang ada.
Informasi yang diperolehnya terdapat 16 peraturan perundangan yang harus direvisi jika ingin melebur empat BPJS yang ada.
Untuk itu, diperlukan kajian akademis sebelum menentukan arah kebijakan pelaksanaan sistem jaminan sosial nasional. Harmonisasi peraturan perundangan tersebut diperlukan agar tidak memunculkan kontroversi di belakang hari.
Sikap kehati-hatian sangat diperlukan karena empat BPJS tersebut beraset Rp190 triliun. Jangan sampai pemerintah dan DPR hanya sibuk dengan kontroversi dan melupakan tujuan utama dari sistem jaminan sosial.
Menurut dia, jika, prioritas utama dari UU SJSN adalah memberi perlindungan pada masyarakat miskin dan tak mampu, khususnya di bidang layanan kesehatan, maka pemerintah hendaknya fokus pada program tersebut.
Mengingat, pembentukan suatu lembaga atau badan sangat dipengaruhi dengan kultur dan sosiologis suatu bangsa. Tidak bisa menjiplak begitu saja program yang sudah dilaksanakan di Singapuran atau Amerika serikat, misalnya.
Jika Indonesia dari awal sudah merancangnya secara parsial, yakni program jaminan sosial untuk PNS, TNI/Polri dan pekerja/buruh swasta sendiri maka untuk selanjutnya tinggal menutupi kelemahan yang ada.
Misalnya, jaminan sosial untuk masyarakat miskin dan tak mampu belum ada maka, maka pemerintah dan DPR tinggal membentuk BPJS baru khusus untuk kalangan tersebut.
Dalam bahasa sederhana, dalam menentukan sesuatu hendaknya dilihat manfaat dan mudharatnya, kata Siti.
Perbedaan Signifikan
Sementara Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Pancasila Prof Bambang Purwoko menilai sudah selayaknya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) di Indonesia tidak disatukan karena terdapat sejumlah perbedaan yang sangat signifikan yang harus diluruskan terlebih dahulu.
Pakar jaminan sosial itu mengatakan perbedaan itu antara lain, terdapat jaminan pekerjaan bagi pegawai di sektor pelayanan publik sedangkan di sektor swasta tidak.
Pegawai di sektor pelayanan publik dan swasta juga terdapat perbedaan usia pensiun. Di samping itu program jaminan sosial bagi pegawai di sektor publik bersifat "unfunded" atau program yang tidak dibiayai oleh peserta program tapi berasal dari pajak atau disisihkan dari anggaran belanja belanja negara.
Karena itu tidak bisa ditransformasi (dilebur) ke "funded plan" atau program jaminan sosial yang didanai oleh peserta.
Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional itu juga mengungkapkan bahwa pada umumnya program jaminan sosial bagi pegawai di sektor layanan publik dan swasta tidak sama.
Pembiayaan program jaminan sosial bagi pegawai sektor publik berasal dari belanja pegawai dengan sendiri menerapkan sistem "pay as you go" (begitu pensiun langsung dibayar).
Menyinggung tentang jumlah BPJS, Purwoko menyebutkan tidak perlu mempermasalahkan jumlah BPJS karena umumnya pembentukan dan penyelenggaraan jaminan sosial sangat tergantung pada kultur dan kronologis keberadaan di suatu negara.
Dia menyatakan di sejumlah negara ada yang memiliki beberapa BPJS, seperti di Malaysia, Thailand, Filipina dan Korea Selatan.
Di Thailand misalnya, terdapat lima jaminan sosial, seperti Social Security Organization (SSO) untuk pekerja sektor swasta yang menyelengarakan jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian dan jaminan pensiun.
Di Indonesia SSO mirip dengan PT Jamsostek, Thailand juga memiliki National institute of social security for civil servants yang mirip dengan PT Taspen, Civil Servant Medical Benefit Scheme yang mirip dengan PT Askes, Military Retiree Activities Office yang mirip dengan PT Asabri.
Sementara National Health Security Office adalah layanan kesehatan bagi pensiunan karyawan swasta, ibu rumah tangga dan penduduk miskin yang Indonesia belum miliki.
Indonesia berpeluang memiliki National Health Security Office seperti Thailand itu jika Pansus DPR RI sepakat membentuk BPJS baru khusus bagi penduduk miskin dan tak mampu.
Lalu, bagaimana dengan Singapura dan Amerika Serikat yang memiliki BPJS tunggal? Mereka memang sejak awal sudah merancang BPJS tunggal untuk program social security (jaminan sosial).
Sementara negara yang membangun jaminan secara parsial, tidak pernah tergoda untuk menyatukannya. Prioritas utama adalah menutupi kekurangan dengan memanfaat BPJS yang ada atau membentuk BPJS baru seperti yang dilakukan Thailand.(*)
(T.E007/Z002)
Oleh Erafzon SAS
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011
Hasbullah Thabrany
Pejabat Pemerintah dan pejabat PT Jamsostek tanpa disadari berupaya melemahkan martabat bangsa
Jutaan pekerja swasta telah kehilangan peluang mendapatkan pensiun bulanan dan bahkan ribuan meninggal, karena ketiadaan jaminan kesehatan akibat tertundanya Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Namun, dalam bulan-bulan terakhir penyusunan UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), justeru terjadi pengalihan perhatian oleh pejabat pemerintah dan pejabat PT Jamsostek dengan mengedepankan isu paket jaminan dasar.
Tujuh tahun lalu, atas perintah amandemen keempat UUD45, UU SJSN ditanda-tangani Presiden. Intinya UU SJSN menyediakan jaminan kesehatan dan pensiun bagi seluruh penduduk. Untuk menjalankan UU SJSN diperlukan BPJS sebagai kendaraan yang sesuai untuk menjamin seluruh rakyat, bukan mencari uang untuk Meneg BUMN. Sebelumnya sudah ada UU Jamsostek yang terbatas dan keliru menggunakan PT Persero ASABRI, Askes, Jamsostek, dan Taspen (yang bertujuan mencari uang untuk Pemerintah). Mahkamah Konstitusipun telah memperkuat UU SJSN untuk mengoreksi kekeliruan itu dengan mengharuskan ke-4 BUMN tersebut menyesuaikan diri dengan UUSJSN paling lama 5 tahun.
Seharusnya tahun 2009 telah ada BPJS yang dibentuk dengan UU yang memiliki kewenangan khusus mengelola dana iuran wajib, mirip dana pajak. Namun, Pemerintahan enggan menjalankan UU SJSN. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, atas gugatan Komite Aksi Jaminan Sosial memutuskan bahwa Pemerintah lalai melaksanakan UU SJSN. Karenanya DPR berinisiatif menyusun RUU BPJS dengan mentransformasikan ke-4 BUMN (badan hukum privat) menjadi badan hukum publik yang sesuai dengan UU SJSN.
Pengalihan Perhatian
Dalam prosesnya, wakil Pemerintah juga enggan menyusun UU BPJS mulai dari tidak berminat mengatur BPJS, tidak ada transformasi, menggugat paket jaminan, sampai meminta transformasi alamiah. Pejabat Kemenkeu mengusulkan paket dasar dikelola BPJS baru dan paket tambahan dikelola ke-4 BUMN. Ini keanehan dunia. Direksi PT Jamsostek sibuk melobi Menteri PT Jamsostek tetap berbadan hukum PT Persero dengan untuk mengelola paket tambahan bagi pegawai swasta. Dengan konsep itu, maka akan terwujud jaminan sosial dalam SJSN yang melemahkan martabat bangsa. Hal tersebut bertentangan dengan UUD45 Pasal 28H ayat 3 yang berbunyi “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.”
Dalam usulan Kemenkeu dan Meneg BUMN, paket dasar jaminan kesehatan adalah pelayanan kesehatan yang murah dan tidak menjamin semua penyakit. Penyakit Guilian Bare yang kini diderita Fasha, yang berbiaya lebih dari Rp 600 juta (perusahaan asuransi hanya menjamin Rp 18,5 juta) misalnya, tidak dijamin. Rakyat diminta menyumbang untuk kasus-kasus seperti itu. Jaminan kesehatan pegawai negeri (Askes) menjamin segala macam penyakit termsuk bedah jantung, kanker dan cuci darah—yang tidak dijamin dalam oleh Jamsostek. Rancangan besaran uang pensiun pegawai swasta maksimum hanya Rp 600 ribu per bulan, sementara uang pensiun pegawai negeri paling sedikit Rp 1,2 juta per bulan. Ini diskriminasi luar biasa. Selain itu akibat keterlambatan implementasi, jutaan pekerja swasta tidak sempat menerima pensiun bulanan dan ribuan meninggal karena penyakit berbiaya mahal.
Praktik lazim di dunia adalah menjamin biaya pengobatan yang justeru sangat mahal, yang tidak mampu didanai sendiri oleh rumah tangga. Inggris bahkan menjamin transplantasi organ. Pemerintah Muangtai membayar iuran Rp 72.000 per orang per bulan untuk menjamin layanan komprehensif bagi seluruh penduduk
sektor informal, termasuk pengobatan kanker yang mahal. Semua negara-negara di Eropa Barat, Kanada, Jepang, Korsel, dan Australia menyediakan jaminan komprehensif—sebagai satu paket untuk seluruh rakyatnya, tidak dipisah. Untuk keadilan sosial. Itulah wujud martabat bangsa yang memungkinkan rakyat
mengembangkan dirinya. Negara-negara tersebut tidak pernah mengalami kesulitan fiskal dan hanya menghabiskan kurang dari 7% PDBnya untuk belanja kesehatan.
Kepentingan Pengusaha dan Kelompok
Dalam suatu rapat nasional pejabat Kemenkeu meminta agar jaminan berobat berbiaya mahal diserahkan kepada perusahaan asuransi. Direksi PT Jamsostek meminta agar PT Jamsostek tidak diutak-atik. Keduanya memiliki nafas yang sama, mementingkan pengusaha dan kelompok tetapi tidak mementingkan rakyat banyak. Pengusaha punya modal dan akal, tidak perlu perlindungan khusus. Peluang bisnis selalu ada. Lagi pula, volume bisnis asuransi kesehatan tidak mencapai 5% dari volume bisnis asuransi. Yang menjadi kewajiban utama Pemerintah adalah melindungi seluruh rakyat, bukan pengusaha atau pegawai BUMN. Padahal mereka tahu bahwa perusahaan asuransi tidak menjamin cuci darah, pengobatan kanker, ICU dan bedah mahal. Maka upaya membatasi jaminan untuk penyakit berbiaya murah sesungguhnya melemahkan bangsa.
Hanya sebagian kecil dari 240 juta rakyat yang akan mampu membeli asuransi swasta atau membayar biaya pengobatan penyakit biaya ratusan juta rupiah. Berapa banyak pegawai swasta yang mampu membayar Rp 100 juta? Sementara lebih dari 95% pegawai swasta hanya bergaji kurang dari Rp 5 juta sebulan. Disinilah peran solidaritas sosial yang dirumuskan SJSN diperlukan. Dalam UU SJSN pasal 22 jelas tertulis hemodialisa dan operasi jantung harus dijamin.
Tuhan telah mengatur bahwa penyakit mahal seperti Guilian Bare (GB) dengan biaya Rp 700 juta hanya diderita oleh sebagian kecil orang. Dari 16 juta peserta Askes, selama ini hanya ada satu kasus GB. Maka jika beban biaya berobat semahal itu digotong bersama, melalui iuran SJSN, maka tiap orang hanya mengiur Rp 3,6 per bulan yaitu hasil perhitungan (1/16.000.000) x Rp 700.000.000 di bagi 12 bulan. Masa kita tidak mau atur?