Ankara (ANTARA News) - Perdana Menteri Turki Tayyip Erdogan mengatakan, Jumat, "tidak terpikirkan" untuk menormalisasi hubungan dengan Israel kecuali jika negara Yahudi itu meminta maaf atas penyerbuan mematikan terhadap sebuah kapal Turki yang menuju Gaza tahun lalu dan mencabut blokade atas wilayah Palestina tersebut.
Dalam pidato kepada parlemen mengenai program baru pemerintahnya, Erdogan tidak memberikan tanda-tanda untuk melunakkan ketentuan itu, meski laporan-laporan dalam beberapa pekan ini menyebutkan bahwa kedua pihak mengadakan pembicaraan rahasia untuk memperbaiki hubungan.
Ankara berulang kali menuntut Israel meminta maaf dan membayar ganti-rugi atas pembunuhan sembilan aktivis Turki pro-Palestina dalam penyerbuan itu.
"Normalisasi hubungan antara kedua negara tidak terpikirkan kecuali jika Israel meminta maaf atas tindakan ilegal ini, yang bertentangan dengan semua hukum dan kaidah internasional, membayar ganti rugi kepada keluarga orang-orang yang kehilangan nyawa mereka dalam peristiwa kejam ini dan mencabut embargo terhadap Gaza," kata Erdogan, yang mendapat sambutan dari anggota-anggota parlemen Partai AK kubunya.
Seorang pejabat Israel mengatakan kepada Reuters, Kamis, sebuah laporan PBB mengenai penyerbuan itu akan diterbitkan pada 27 Juli, setelah penundaan-penundaan untuk memungkinkan pembicaraan lebih lanjut antara Israel dan Turki.
Pejabat yang menolak disebutkan namanya itu tidak bersedia menjelaskan hasil temuan komite yang dibentuk oleh Sekretaris Jendral PBB Ban Ki-moon dan dipimpin oleh mantan Perdana Menteri Selandia Baru Geoffrey Palmer dan hanya megatakan bahwa laporan itu sedang dirampungkan.
Namun, Menteri Keuangan Israel Yuval Steinitz mengatakan sebelumnya, rancangan terdahulu laporan Palmer menunjukkan bahwa komite itu akan memberikan laporan yang sebagian besar mendukung Israel.
Israel menjadi sorotan dunia setelah serangan mematikan terhadap armada kapal bantuan tujuan Gaza pada Mei 2010.
Laporan yang dikeluarkan Dewan Hak Asasi Manusia PBB pada 22 September menyebutkan, ada "bukti jelas untuk mendukung penuntutan" terhadap Israel karena pembunuhan dan penyiksaan yang disengaja dalam serangan Mei yang menewaskan sembilan aktivis Turki itu.
Israel menolak laporan itu dengan menyebutnya sebagai bias dan mendukung satu pihak dan menekankan bahwa mereka bertindak sesuai dengan hukum internasional.
Pasukan komando Israel menyerbu kapal-kapal dalam armada bantuan yang menuju Jalur Gaza pada 31 Mei 2010. Sembilan aktivis Turki pro-Palestina tewas dalam serangan di kapal Turki, Mavi Marmara, yang memimpin armada kapal bantuan itu menuju Gaza.
Israel berkilah bahwa penumpang-penumpang kapal itu menyerang pasukan, namun penyelenggara armada kapal itu menyatakan bahwa pasukan Israel mulai melepaskan tembakan begitu mereka mendarat.
Hubungan Israel-Turki terperosok ke tingkat terendah sejak kedua negara itu mencapai kemitraan strategis pada 1990-an akibat insiden tersebut.
Turki memanggil duta besarnya dari Tel Aviv dan membatalkan tiga rencana latihan militer setelah penyerbuan itu. Turki juga dua kali menolak permohonan pesawat militer Israel menggunakan wilayah udaranya.
Setelah serangan itu, Mesir, yang mencapai perdamaian dengan Israel pada 1979, membuka perbatasan Rafah-nya untuk mengizinkan konvoi bantuan memasuki wilayah Gaza -- kalangan luas melihatnya sebagai upaya untuk menangkal kecaman-kecaman atas peranan Mesir dalam blokade itu.
Kairo, yang berkoordinasi dengan Israel, hanya mengizinkan penyeberangan terbatas di perbatasannya sejak Hamas menguasai Gaza pada 2007.
Di bawah tekanan-tekanan yang meningkat, Israel kemudian meluncurkan penyelidikan bersama dua pengamat internasional atas serangan itu. Sekretaris Jendral PBB Ban Ki-moon mendorong penyelidikan terpisah PBB dengan keikutsertaan Israel dan Turki.
Israel juga mengendurkan blokade terhadap Gaza dengan mengizinkan sebagian besar barang sipil masuk ke wilayah pesisir tersebut.
Jalur Gaza, kawasan pesisir yang padat penduduk, diblokade oleh Israel dan Mesir setelah Hamas berkuasa hampir tiga tahun lalu.
Kelompok Hamas menguasai Jalur Gaza pada Juni tahun 2007 setelah mengalahkan pasukan Fatah yang setia pada Presiden Palestina Mahmoud Abbas dalam pertempuran mematikan selama beberapa hari.
Sejak itu wilayah pesisir miskin tersebut dibloklade oleh Israel. Palestina sempat terpecah menjadi dua wilayah kesatuan terpisah -- Jalur Gaza yang dikuasai Hamas dan Tepi Barat yang berada di bawah pemerintahan Abbas. Kini kedua kubu tersebut telah melakukan rekonsiliasi.
Uni Eropa, Israel dan AS memasukkan Hamas ke dalam daftar organisasi teroris. (M014/K004)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011