Jakarta (ANTARA News) - Pergerakan dinamis di Bursa Efek Indonesia (BEI) selama bulan Juni 2011 menunjukkan fakta indikatif, yakni pada minggu kedua sempat terjadi sedikit melemah Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG)-nya.
Namun, BEI mencatat pada minggu-minggu pertama, ketiga dan keempat indeks kembali menguat, bahkan pada minggu terakhir transaksi mendorongnya melaju naik mendekati angka 4.000 atau melampaui rekor indeks pada tingkat 3.948,85.
Rapid Assessment Lembaga Kajian Informasi (LKI) atas pergerakan dan transaksi di BEI pada bulan April dan Mei 2011 juga menunjukkan pada fakta indikatif bahwa Menguatnya IHSG pada periode April dan Mei merupakan pergerakan dinamis transaksi di bursa saham yang tercatat sebagai dinamika positif dan eskalatif, serta membuktikan situasi booming di sektor industri keuangan (financial industry) mampu mendulang akumulasi masuknya modal investor asing secara signifikan.
Sementara itu, menguatnya IHSG BEI pada bulan Juni 2011 merupakan bukti bahwa BEI tetap menjadi pasar yang diincar para investor, khususnya investor asing. Pasar Indonesia, khususnya Jakarta, bagi para investor asing masih dianggap pasar saham dan modal yang prospektif dan profit dibandingkan lantai bursa di negara Eropa, layaknya Amsterdam (Belanda) atau Frankfurt (Jerman).
Menguatnya IHSG BEI minggu ke empat Juni 2011 pada tingkat 3.948,85 melampaui rekor indeks tertinggi minggu ketiga Juni 2011 pada tingkat 3.888,57 atau mengalami kenaikan 60 poin (1,55 %).
Munculnya fenomena pencapaian rekor tertinggi IHSG BEI yang nyaris menyentuh angka 4.000 ini menunjukkan bahwa fenomena ini sekaligus mematahkan analisa atau argumentasi para analis dan ekonom pelaku di pasar bursa maupun periset di sektor industri keuangan yang menilai bahwa melemahnya indeks tersebut mengekspresikan: pertama, kekhawatiran pasar terhadap sentimen krisis perekonomian keuangan Yunani; kedua, kekhawatiran pasar terhadap melambatnya pertumbuhan ekonomi global.
Melemahnya IHSG BEI pada minggu kedua Juni 2011 pada kisaran kurang dari sepuluh sampai belasan poin di BEI akibat sentimen di hampir semua bursa Asia, yang juga melemah karena adanya sedikit aksi “profit taking” per enam bulanan, yang juga wajar terjadi.
Selain itu, baik di BEI maupun di lantai bursa Asia pada minggu kedua Juni 2011 muncul para pelaku dan pemain yang melakukan quick-switching (memindahkan) modalnya di saham-saham yang sudah tergolong profit ke saham-saham unggulan yang lebih tinggi angka profitnya dan umumnya pada akhir Juni dan pada bulan Juli 2011 saham-saham unggulan di beberapa perusahaan sudah melakukan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dengan angka deviden tahunannya.
Menguatnya IHSG BEI pada minggu pertama Juni 2011 dilanjutkan dengan Melemahnya IHSG pada minggu kedua Juni 2011 kemudian terjadi rebound, yakni IHSG pada minggu ketiga dan juga Menguatnya IHSG mencapai rekor tertinggi nyaris menyentuh angka 4.000 merupakan pergerakan dinamis pasar saham dan modal di BEI yang solid dengan karakter dan dinamika pertumbuhan pasar Asia khususnya Indonesia yang sudah tergolong emerging market (pasar berkembang).
Assessment LKI juga menunjukkan bahwa fenomena pencapaian rekor tertinggi IHSG pada penghujung Juni dan awal Juli 2011 merupakan bukti faktual dari dinamika Indonesia sebagai salah satu emerging market di Asia yang diprediksikan akan mampu
memberikan kontribusi sebesar 50 % bagi pertumbuhan ekonomi global. Dengan adanya fenomena rekor baru IHSG tertinggi ini
sekaligus juga membuktikan Indonesia sebagai bagian dari emerging market Asia pusat dinamika pergerakan ekonomi, bisnis dan
keuangan.
Fenomena IHSG yang rebound dan dilanjutkan dengan menguatnya menembus rekor tertinggi mendekati tingkat 4.000 membuktikan
bahwa pergerakan dinamis di BEI tidak atau bukan dipengaruhi oleh sentimen krisis Yunani di Eropa dan juga bukan disebabkan
karena keraguan pasar akan terjadinya pelambatan pertumbuhan ekonomi global seperti pernah dikemukakan para analis dan ekonom.
Pendapat dan analisa yang menyebut melemahnya IHSG BEI pada periode minggu kedua Juni 2011 terjadi karena pengaruh atau sentimen krisis Yunani bukan merupakann alasan pembenaran pasar yang tepat, bahkan kurang relevan. Meskipun akhirnya setelah rekor tertinggi IHSG BEI tercapai, pihak Riset BNI Securities mengakui bahwa masuknya dana asing ke pasar modal Indonesia sebagai salah satu emerging market merupakan suatu hal yang tidak terelakkan.
Jika digunakan pendekatan analisa intelijen sirkular (circular intelligence analysis) dengan mencari korelasi antara analisa indikator penentu (determinant indicator analysis) dan analisa indikator pendukung (support indicator analysis) atau analisa indikator ring (ring indicator analysis) dengan mengurai semua faktor terkait dalam fenomena Melemahnya IHSG BEI yang terjadi pada minggu kedua Juni 2011 dan menguatnya indeks pada semua transaksi sepanjang bulan tersebut, maka kesimpulannya adalah krisis Yunani di Eropa tidak atau bukan merupakan faktor atau indikator penentu terhadap pergerakan dinamis.
Selain itu, jika benar melemahnya itu terjadi karena indikator atau faktor krisis Yunani, maka proses rebound akan sulit dan tidak terjadi pada minggu berikutnya. Selain itu pula, dampak sentimen krisis Yunani tidak terjadi dalam waktu singkat, tapi relatif perlu waktu lebih lama, paling sedikit tiga sampai empat pekan, sementara pada minggu berikutnya proses rebound terjadi, bahkan berlanjut pada menguatnya IHSG BEI yang berlanjut dan mampu mencapai rekor tertinggi.
Artinya, jika memang melemahnya IHSG BEI karena pasar terpengaruh krisis Yunani atau meyakini melambatnya pertumbuhan ekonomi
global juga melanda Asia, maka sejatinya pasar akan terus merespon negatif dan rebound yang dilanjutkan dengan menguatnya, serta rekor IHSG tidak akan terjadi. Sementara dalam konteks analisa intelijen sirkular, fenomena ekonomi global hanya merupakan faktor dalam analisa indikator pendamping (side indicator analysis) dan bukan merupakan faktor dalam analisa indikator pendukung.
Faktor penentu dalam konteks analisa indikator penentu (determinant indicator analysis) yang memastikan pergerakan dinamis di BEI bukan krisis Yunani, dan melambatnya laju pertumbuhan ekonomi global, tetapi ada dua hal. Pertama, semua bursa saham di kawasan Asia masuk dalam kategori emerging market (pasar berkembang) yang menjanjikan bagi perputaran modal para investor.
Ditambah lagi, Asia sebagai emerging market merupakan bagian dari kawasan yang berdasarkan perhitungan matematika ekonomi telah menunjukkan fakta indikatif dapat memberikan kontribusi sebesar 50 % bagi total pertumbuhan ekonomi global karena Asia akan menjadi pusat pertumbuhan ekonomi global melalui kekuatan ekonomi emerging market-nya.
Kedua, fakta indikatif di semua lantai bursa Asia, termasuk BEI menunjukkan pergerakan dinamis transaksi yang didukung menguatnya IHSG yang eskalatif (terus menguat dan naik) yang tidak terpengaruh sentimen negatif krisis Yunani. Situasi ini menyebabkan semua bursa saham di Asia masuk dalam kategori Zona Hijau atau Zona Aman bagi pergerakan atau transaksi.
Sementara itu, di bursa di Eropa, seperti Amsterdam dan Frankfurt atau Athena, situasi pergerakan pasar sudah mengarah atau berada di Zona Merah atau Zona Tidak Aman.
Menguatnya IHSG BEI yang eskalatif (meningkat) mencapai rekor tertinggi terjadi karena dorongan sentimen positif akibat menguatnya indeks yang juga terjadi secara simultan di hampir semua bursa saham Asia. Misalnya, indeks Nikkei 225 naik ke tingkat 9.868,77 (naik 0,54 %), indeks Straits Times Singapura naik pada tingkat 3.138,97 (naik 0,59 %), indeks Hang Seng di China naik pada tingkat 22.398,10 (naik 1,53 %) dan indeks MSCI Asia Pasifik naik pada tingkat 883,74 (naik 0,84 %).
Indikatif naik atau menguatnya IHSG di bursa Asia merupakan bukti bahwa pergerakan dinamis masih dan terus berlangsung di Zona Hijau atau Zona Aman.
Ketiga, jika bursa Eropa sudah menunjukkan indikatif Zona Merah, maka pergerakan dinamis di lantai bursa secara naluri bisnis akan bergerak pindah mencari Zona Aman atau Zona Hijau bagi relokasi area parkir modal baru atau alokasi tambahan modal para investor di atau ke kawasan Asia, termasuk Indonesia. Dengan kata lain, Zona Asia merupakan “Safety and Buffer Zone” (wilayah aman dan penyangga) bagi investor asing.
Keempat, pasar Indonesia sebagai relokasi atau alokasi modal asing melalui lantai bursa atau penempatan di industri keuangan sejauh ini sejak kuartal I dan II 2011 atau selama semester I 2011 masih merupakan pasar yang menjanjikan, dalam artian punya prospek profit yang dapat diprediksi dengan indikator nyata dan jelas, serta terkait dengan faktor fundamental pertama yang terukur, yaitu tingkat suku bunga acuan Bank Indonesia (SBI) 6,75 % yang kompetetif dan berlaku bagi Surat Berharga Negara (SBN) atau Sertifikat Bank Indonesia (SBI), dan kini juga muncul Surat Perbendaharaan Negara (SPN).
Faktor fundamental kedua yang lain, yang mendukung pergerakan dinamis di BEI dan menambah keyakinan pasar maupun investor, adalah fenomena menguatnya nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang selama paruh pertama tahun 2011 menunjukkan fakta indikatif yang menguat dan stabil. Bahkan, menguatnya rupiah sempat membuat repot para eksportir yang khawatir menguatnya rupiah yang berlanjut justru akan merugikan perhitungan dan kontrak para eksportir yang dipatok pada tingkat mendekati angka Rp9.000 per satu dolar AS.
Belum lagi faktor fundamental ketiga, seperti laju inflasi yang terkendali pada tingkat sekitar 6 %. Keempat, Indonesia memiliki rasio kecukupan pemilikan cadangan devisa negara pada tingkat lebih dari 116,5 miliar dolar AS. Jumlah pencapaian devisa negara pada jumlah tersebut dianggap cukup untuk membayar kembali semua SBN/SBI dan SPN yang telah jatuh tempo di BEI.
Kelima, indikatif surplusnya Neraca Pembayaran sampai kuartal I/2011, dan indikatif peningkatan ekspor non-migas sebesar 37,8 %.
Kesimpulan sementara mencermati pencapaian rekor IHSG BEI adalah bahwa Indonesia, terutama Jakarta, terbukti merupakan salah satu kawasan dari “emerging market”. Tatkala bursa di Eropa dan Amerika yang tidak memberi gambaran profit, BEI justru mampu menunjukkan fakta indikatif “emerging market” yang masih mampu memberi gambaran profit dan prospek yang menjanjikan.
Hal ini terjadi karena para investor dan pelaku pasar memliki kecenderungan melakukan tindakan “penyelamatan” dan “pengamanan” bagi modal mereka dengan melakukan relokasi dari Zona Eropa yang berindikasi berpotensi sebagai Zona Merah atau Zona Tidak Aman masuk atau pindah ke Zona Asia yang tergolong Zona Hijau atau Zona Aman bagi pergerakan modal mereka.
*) Oleh Petrus Suryadi Sutrisno (piets2suryadi@yahoo.com) adalah Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Informasi dan Analis Senior Intelijen Bisnis.
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2011