Hal ini terjadi karena banyak sekali perilaku hidup manusia yang tanpa disadari menyebabkannya rusak.

Cimahi (ANTARA News) - Kerusakan lubang ozon di kutub Selatan sebesar 27 juta kilomter persegi. Hal ini membuatnya lebih besar dibandingkan Amerika Utara yang luasnya sekitar 25 juta kilometer persegi.

Hal ini terjadi karena banyak sekali perilaku hidup manusia yang tanpa disadari menyebabkannya rusak, kata Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Novita Ambarsari kepada wartawan di sela-sela Sosialisasi Perlindungan Lapisan Ozon di Pusdik Armed, Kota Cimahi, Senin.

"Lubang ozon di kutub Selatan ini bukan dalam arti lubang yang sebenarnya pada lapisan ozon. Akan tetapi, lubang ozon merupakan penipisan lapisan lapisan ozon dengan konsentrasi lebih rendah dari 220 DU. Nilai ini berdasarkan pengamatan ozon di Kutub Selatan yang tidak pernah lebih tinggi dari 220 DU sejak tahun 1979," katanya.

Sedangkan kondisi ozon di Indonesia berdasarkan data total ozon hasil pengukuran satelit Nimbus pada Junu 2009, ada kecendrungan penurunan konsentrasi ozon total di Indonesia sebesar 0,29 DU/tahun. Bahan-bahan kimia perusak lapisan ozon ini terutama berasal dari jenis chlorofluorocarbons (CFC) yang digunakan dalam berbagai produk proses seperti lemari es, pendingin udara, proses pembuatan busa lembut, sebagai cairan pembersih.

"Bahan perusak lapisan ozon banyak digunakan dalam industri alat pemadam kebakaran dan Metil Bromida yang dipakai untuk bahan pestisida. Pemakaian bahan-bahan ini meningkat dengan cepat sejak tahun 1970-an yang menyebabkan kandungannya di atmosfer juga meningkat," ujarnya.

Syaiful Hamdi menambahkan, untuk mengatasi hal ini adalah dengan cara mengubah perilaku manusia. Masyarakat harus disadarkan bahwa manusia harus hidup lebih lama dengan suasana nyaman dan aman. Edukasi yang disampaikan bisa dalam bentuk cerita dan bukti nyata supaya warga tergerak hatinya untuk hidup dengan cara yang lebih baik.

"Banyak kebiasaan masyarakat yang tdak sesuai dengan pola back to nature seperti menyalanya tv tanpa ada menyaksikannya. Padahal energi litrik berasal dari solar. Sedangkan solar tidak bisa diperbarui dan pembakarannya sendiri menyebabkan kerusakan lapisan ozon," ujarnya.

Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2011