Solo (ANTARA News) - Penari dan koreografer asal Bali I Nyoman Sura yang menampilkan tarian ritual topeng berjudul "Taksu" memukau para penonton dalam pergelaran "Solo International Performing Art" (SIPA) III/2011 di Pamedan Pura Mangkunegaran, Kota Solo, Sabtu malam.
I Nyoman Sura yang pernah mendapat anugerah sebagai koreografer terbaik di Jakarta, pada 1999 berjudul "Lakuku" itu, tampil di SIPA 2011 mempertontonkan tarian tradisional Bali yang digabungkan dengan balet.
Sura yang dibantu tiga penari latar secara kompak menyuguhkan tarian dengan kelenturan tubuhnya yang hanya dibalut dengan kain putih mewarnai pergelaran SIPA pada hari kedua di Kota Solo.
Sura yang pernah tampil di Tokyo, Jepang 2002 tersebut meracik seni balet dikolaborasikan dengan upacara ritual di Bali menjadikan tarian itu mencari kelihatan indah dan sakral.
Menurut I Nyoman Sura, tari yang ditampilkan dalam SIPA 2011 ini, dengan tema "Taksu" yang artinya, sebuah topeng yang menyatu dengan penarinya kemudian berubah menjadi jahat. Karena, tubuh penari setelah menggunakan topeng, maka jiwanya dimasuki roh.
Namun, kata dia, setelah penari itu terlepas dari topeng yang dipakai mereka akan kembali normal seperti sedia kala.
Sementara koreografer asal daerah Lanna, Thailand, Ronnarong Khampa dalam penampilan tarian tradisional pergelaran SIPA di Solo, terinspirasi dari puisi yang ditulis oleh Raja Rama kelima Thailand.
"Tarian ini, menggambarkan bagaimana kita memiliki topeng yang berbeda-beda dan menyembunyikan hati kita," kata Rannarong Khampa.
Menurut dia, tarian yang diiringi alat musik seruling tersebut menggambarkan bahwa manusia yang dilahirkan memiliki derajat yang sama, tetapi setelah mereka menggunakan topeng karakternya akan berbeda-beda.
Pergelaran SIPA tahun ini, juga dimeriahkan penampilan Komunitas Seni Teater Aron asal Medan, yakni komunitas seni pertunjukan yang merealisasikan ide-ide kreatif dan bentuk arstitik kontemporer.
Tarian yang berjudul "Gundala-Gundala" yang disuguhkan oleh Teater Aron tersebut menceritakan tentang seorang raja yang menaklukan burung Gurda-Gurdi yang dikenal buas di hutan. Burung itu dibawa ke istananya, dan suatu hari putri raja mencabut salah satu bulu di buring.
"Sehingga, sang burung setelah dicabut salah satu bulunya kembali buas. Tatepi, si burung itu akhirnya dapat dibunuh oleh sang penantu raja," kata Joey Bangun, sang koreografer Tari Gundala-Gundala.
Sementara pergelaran menjadi tersentak setelah ditampilkan seni budaya asal Sunda, yakni Saung Angklung Udjo (SAU) di panggung SIPA ketiga ini. Tarian goyang Sunda yang diperagakan oleh sepuluh penari wanita dengan membawa topeng diiringi alat musing angklung yang dikombinasikan dengan alat musik modern.
Tarian garapan yang disajikan merupakan gerak dan topeng (banjet dari Cirebon) Jawa Barat dipadukan dengan musik bambu (alunan rumpun bambu) dikemas dalam komposisi berjudul "Peng-Ba" (topeng-arumba) yang diusung oleh penari wanita dengan eksplorasi topeng terjadi lewat dinamika musik arumba.
Delegasi dari India dalam SIPA tahun ini, yang diwakili oleh "Indian Council for Cultura Relations (ICCR) mempersembahkan " Kathakali", yakni tarian topeng dari India Selatan yang menceritakan Ramayana ketika Surpanaka menginginkan Laksamana menjadi suaminya.
Pertunjukan SIPA diakhir dengan tampilnya dari Lembaga Persatuan Seniman Seniwati (Persenti) Banyuwangi yang menyuguhkan tarian dengan berjudul "Dedet". Dedet ini artinya gelap gulita dalam pengertian kesulitan untuk mencari jalan keluar guna memenuhi tuntutan kehidupannya.
Dunia kehidupan menjadi hitam, tidak satupun benda berharga yang dapat menunjang kemanjuran proses kesejahteraan kehidupan manusia. Faktor penyebabnya adalah peristiwa terjadinya hukum alam di luar kemampuan manusia, yakni musibah banjir, hujan angin, gempa, tsunami gunung meletus yang semuanya tidak bisa dikompromi
Hal tersebut seperti yang digambarkan pada sebuah seni tari dan musik etnik "dedet" yang ditampilkan oleh para seniman dan seniwati asal Banyuwangi.(*)
(U.B018/Z002)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011