Jakarta (ANTARA News) - Pembahasan RUU tentang Pornografi dan Pornoaksi di DPR RI berjalan tersendar-sendat karena masih adanya perbedaan pendapat mengenai berbagai hal termasuk masalah definisi dan batasan porno. Di sisi lain, muncul kekhawatiran diberlakukanya UU Pornografi dan Pornoaksi akan membuat satu aturan yang muaranya akan muncul masalah baru. Demikian pendapat yang mengemuka dalam diskusi RUU Pornografi dan Pornoaksi di Jakarta Pusat, Sabtu. Anggota Komisi VIII DPR RI Alfridel Jinu mengungkapkan, keadaan seperti itulah yang mungkin membuat pembahasan RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi masih berjalan alot, terjadi tarik menarik berbagai persoalan yang menyangkut sisi ekonomi, sosial dan budaya. Menurut anggota Pansus RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi ini, dalam draf RUU Pornografi dan Pornografi banyak pasal-pasal bukan hanya melindungi yang anti pornografi tetapi lebih banyak yang menyerang kepada para pelakunya. Karena itu, apabila RUU ini disahkan dalam kondisi saat ini, bukan tidak mungkin kreativitas seni akan mati. "Sebab dalam kondisi bangsa kita yang secara ekonomi kurang baik ini, usaha yang masih dianggap bisa bertahan adalah industri seni. Jika untuk yang satu ini dihancurkan juga, maka akan bertambah parah lagi keadaan ekonomi bangsa Indonesia," kata Alfridel Jinu Anggota DPR RI dari F-PDIP ini menjelaskan, UU Anti Pornografi dan Pornoaksi ini belum jelas betul siapa yang dilindungi, sebab pelakunya orang Indonesia, konsumenya juga orang Indonesia. "Cara berpikir saya ini apakah kita ini melindungi produsen atau konsumen. Bila kita melindungi konsumen, maka mata rantainya akan panjang karena menyangkut ekonomi. Banyak pekerja dalam industri ini terkena imbas," katanya. Karena itu, kata Alfridel, di dalam rapat Pansus RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi, F-PDIP berpikir rasional karena harus memberikan perlindungan kepada kreativitas seni. "Tentunya, secara mendasar muncul pertanyaan dari kami, apakah dalam kondisi sekarang ini UU itu dibutuhkan sekarang atau tidak," katanya. Menurut Alfridel, memang dibutuhkan UU Anti Pornografi dan Pornoaksi tetapi batasan ruang garapannya harus jelas. "Fraksi PDIP bukan menolak RUU itu tetapi pasal-pasal yang ada dalam RUU itu sejauh mana memberikan perlindungan terhadap kreativitas seni," katanya. Karena itu, kata Alfridel, bila UU Anti Pornografi dan Pornoaksi disetujui maka untuk menjawab masalah pornografi tidak sertamerta tuntas hanya dengan UU. Artinya perlu juga di jawab dengan pembinaan mentalitas bangsa, pendekatan terhadap masyarakat dan lebih penting lagi memperdalam agama. "Saya rasa itu jauh lebih efektif," katanya.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2006