Aden, Yaman (ANTARA News) - Sebanyak 48 orang, termasuk 30 prajurit dan empat warga sipil, tewas dalam pertempuran sengit Rabu antara pasukan pemerintah dan militan yang terkait dengan Al-Qaida di Yaman selatan, kata militer dan petugas medis.
Pertempuran berkobar di sekitar stadion Al-Wahda di daerah pinggiran Zinjibar, yang sebagian besar telah jatuh ke tangan gerilyawan sebulan lalu, demikian AFP melaporkan.
"Sebanyak 30 prajurit dan 14 militan Al-Qaida" tewas dalam bentrokan tersebut, kata satu sumber militer.
Menurut sumber itu, kekerasan meletus ketika "puluhan orang bersenjata menyerang stadion dimana pasukan dari Brigade Mekanik 25 ditempatkan".
Kelompok bersenjata itu menguasai stadion tersebut, yang membuat "angkatan udara segera beraksi" dan menyerang gerilyawan muslim garis keras itu, kata sumber tersebut.
Sumber militer itu menambahkan, jatuhnya stadion itu ke tangan militan membuat pasukan kehilangan sebuah lokasi strategis karena persenjataan telah diangkut dengan helikopter untuk brigade itu di stadion tersebut.
Laporan sebelumnya menyebutkan bahwa 16 prajurit, termasuk seorang kolonel, tewas dalam pertempuran itu, sementara seorang petugas medis menyatakan dua militan tewas.
Empat warga sipil tewas dalam serangan terhadap bis yang membawa mereka pergi menyelamatkan diri.
Orang-orang itu sedang bepergian dalam konvoi kendaraan yang berlindung di dekat stadion tempat pertempuran itu berlangsung ketika pasukan Yaman melancarkan serangan udara, kata petugas medis dan saksi.
Dua-belas warga sipil juga cedera dalam serangan itu.
Kekerasan Rabu itu meningkatkan jumlah kematian militer menjadi 130 sejak militan bersenjata yang menamakan diri "Pengikut Sharia" menguasai sebagian besar Zinjibar, ibu kota provinsi Abyan, pada 29 Mei.
Para pejabat keamanan mengatakan bahwa militan itu adalah Al-Qaida, namun oposisi politik menuduh pemerintah Presiden Ali Abdullah Saleh mengada-ada tentang ancaman jihad dengan tujuan menangkal tekanan Barat terhadap kekuasaannya yang telah berlangsung 33 tahun.
Yaman adalah negara leluhur almarhum pemimpin Al-Qaida Osama bin Laden dan hingga kini masih menghadapi kekerasan separatis di wilayah utara dan selatan.
Yaman Utara dan Yaman Selatan secara resmi bersatu membentuk Republik Yaman pada 1990 namun banyak pihak di wilayah selatan, yang menjadi tempat sebagian besar minyak Yaman, mengatakan bahwa orang utara menggunakan penyatuan itu untuk menguasai sumber-sumber alam dan mendiskriminasi mereka.
Negara-negara Barat, khususnya AS, semakin khawatir atas ancaman ekstrimisme di Yaman, termasuk kegiatan Al-Qaida di Semenanjung Arab (AQAP).
Negara-negara Barat dan Arab Saudi, tetangga Yaman, khawatir negara itu akan gagal dan Al-Qaida memanfaatkan kekacauan yang terjadi untuk memperkuat cengkeraman mereka di negara Arab miskin itu dan mengubahnya menjadi tempat peluncuran untuk serangan-serangan lebih lanjut.
Yaman menjadi sorotan dunia ketika sayap regional Al-Qaida AQAP menyatakan mendalangi serangan bom gagal terhadap pesawat penumpang AS pada Hari Natal.
AQAP menyatakan pada akhir Desember 2009, mereka memberi tersangka warga Nigeria "alat yang secara teknis canggih" dan mengatakan kepada orang-orang AS bahwa serangan lebih lanjut akan dilakukan.
Para analis khawatir bahwa Yaman akan runtuh akibat pemberontakan Syiah di wilayah utara, gerakan separatis di wilayah selatan dan serangan-serangan Al-Qaida. Negara miskin itu berbatasan dengan Arab Saudi, negara pengekspor minyak terbesar dunia.
Selain separatisme, Yaman juga dilanda penculikan warga asing dalam beberapa tahun ini. (M014/K004)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011