Bandara Nuku'alofa di Tonga masih ditutup karena para pekerja tidak dapat menyelesaikan upaya pembersihan abu ...
Jakarta (ANTARA) - Upaya pengiriman bantuan menyusul letusan gunung berapi di Tonga menghadapi sejumlah tantangan mulai dari komunikasi yang terputus hingga kebijakan pencegahan COVID-19 yang ketat, seperti disampaikan pejabat PBB pada Selasa (18/1).
Dalam sebuah konferensi video, Jonathan Veitch, perwakilan PBB sekaligus koordinator kemanusiaan untuk Fiji, Kepulauan Solomon, Tonga, Tuvalu, dan Vanuatu, memaparkan berbagai tantangan yang dihadapi menyusul letusan pada Sabtu (15/1) pekan lalu itu.
Komunikasi di dalam 36 pulau berpenghuni dari 169 pulau di Tonga terbatas pada telepon satelit, demikian juga di ibu kota Nuku'alofa dan antara Tonga dengan dunia luar.
Kabel komunikasi bawah laut utama terputus, yang memutus layanan suara, video, dan internet. Meski demikian, kata Veitch, dirinya dapat mengirim pesan sederhana melalui SMS ke rekan-rekan mereka melalui sistem satelit, dan mereka berharap telepon akan segera aktif kembali.
Meski pilihan yang umum bagi pekerja kemanusiaan adalah mengirim bantuan melalui udara, Veitch mengatakan bandara Nuku'alofa masih ditutup karena para pekerja tidak dapat menyelesaikan upaya pembersihan abu. Sementara itu, kapal-kapal yang berlayar dari Australia dan Selandia Baru membutuhkan waktu enam hingga delapan hari untuk mencapai sebuah pelabuhan di Tonga.
Lebih lanjut Veitch mengatakan ada pertanyaan tentang bagaimana pihak berwenang akan menangani orang-orang yang datang ke Tonga ketika negara itu menerapkan protokol anti-COVID-19 yang sangat ketat.
Belum ada kasus COVID-19 yang dilaporkan di Tonga. Pihak berwenang ingin menjaga agar negara itu tetap bebas COVID, terutama mengingat populasi di pulau Pasifik itu pernah dilanda penyakit menular yang parah.
Meski tidak ada korban jiwa di antara 23 pekerja PBB, terdapat korban luka yang tidak diketahui jumlahnya di pulau-pulau terpencil. Namun, menurut Veitch, laporan kerusakan dari pulau-pulau tersebut datang dengan lambat.
Koordinator itu mengatakan kerusakan di pulau-pulau terpencil mungkin tidak begitu parah karena letaknya jauh dari gunung berapi. Letusan itu terjadi hanya 65 kilometer dari pulau utama Tongatapu, tempat ibu kota Tonga berada.
"Kami khawatir dengan masalah air. Saya belum mendengar ada warga yang kehabisan air, yang jelas akan jadi situasi darurat. Tentu saja kami sudah mendengar bahwa toko-toko kehabisan makanan, dan juga terdapat cukup banyak ... pembelian dalam jumlah besar seperti yang biasa terjadi dalam keadaan seperti ini, termasuk air dan persediaan makanan juga," ujar Veitch.
Para teknisi sedang memeriksa pabrik desalinasi di pulau utama untuk melihat apakah pabrik itu siap kembali beroperasi. Kapal-kapal yang sedang menuju ke sana membawa air, makanan, persediaan darurat, dan bahkan pabrik desalinasi.
Lebih cepat mendapatkan pasokan akan lebih baik, kata Veitch. "Ini sesuatu yang mendesak."
Mereka mengatakan sejauh ini tiga orang dilaporkan tewas, sementara jumlah korban luka masih belum dapat dipastikan.
"Penilaian kebutuhan oleh otoritas Tonga sedang berlangsung dan dapat memberikan perkiraan yang lebih baik bagi komunitas internasional perihal apa yang dibutuhkan (warga Tonga)," kata Stephane Dujarric, Kepala Juru Bicara Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres.
Ia mengatakan PBB bersiaga dengan semua tim dan pasokan darurat. Stok-stok di Tonga sedang disiapkan untuk didistribusikan begitu kebutuhan kemanusiaan telah teridentifikasi.
"Staf kami di sana bekerja untuk membantu upaya koordinasi dan respons di dalam negeri," kata Dujarric dalam konferensi pers rutin.
PBB memiliki 23 staf di Tonga, yakni 22 pekerja lokal dan satu orang staf internasional.
Pewarta: Xinhua
Editor: Virna P Setyorini
Copyright © ANTARA 2022