Area ini meskipun peruntukan legalnya menjadi kawasan dengan aktifitas produksi dan budidaya, tetapi oleh unit manajemen hutan atau kebun dikelola sebagai kawasan lindung, kata Dwi R. Muhtaman, Ketua Badan Pengurus Jaringan NKT Indonesia pada acara side event General Assembly Forest Stewarship Council (FSC) di Kinabalu, Sabah, Malaysia, dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Selasa.
Ini dilakukan karena komitmen perusahaan untuk melindungi tempat-tempat dalam hak legalnya yang masih mempunyai nilai konservasi,katanya.
Di samping itu, menurut dia, perlindungan nilai konservasi tinggi ini merupakan bagian dari pengelolaan hutan yang lestari dan pengelolaan kebun sawit yang lestari.
Konsep high conservation values (nilai konservasi tinggi/NKT) telah diterima sebagai sebuah konsep yang bermanfaat untuk menyelamatkan areal-areal yang mempunyai nilai konservasi tinggi, baik areal di ekosistem hutan maupun non kehutanan.
Pengguna konsep pun beragam mulai dari lembaga-lembaga yang berkaitan dengan sertifikasi sumberdaya alam, para pengelola sumberdaya alam, pemerintah daerah yang didukung oleh lembaga swadaya masyarakat untuk rencana tata ruang regional, maupun lembaga-lembaga keuangan yang memberi kredit kepada perusahaan-perusahaan, kata Dwi.
Konsep NKT ini telah memberi peluang untuk memelihara dan memperkuat tempat-tempat yang bernilai secara konservasi tetapi selama ini tidak mendapatkan perlindungan yang memadai.
Melibatkan para pihak dalam mengelola HCV area bukan hanya memperluas kawasan dengan nilai konservasi tinggi, tetapi juga meningkatkan kepedulian serta keikutsertaan para pihak dalam upaya konservasi sumberdaya alam yang semula lebih dirasakan sebagai tugas pemerintah pusat secara eksklusif, kata Petrus Gunarso, Direktur Program Tropenbos Indonesia pada kesempatan yang sama.
Pengelolaan kawasan konservasi harus memperhatikan keterkaitan antara hutan dan penggunaan kawasan lain di luar hutan. Konsep penetapan HCV mendapatkan momentum pengembangan di Indonesia khususnya dalam pengelolaan sumberdaya alam berbasis bentang alam.
Menurut Yana Suryadinata, anggota Panel Tehnik pada High Conservation Value Resource Network (HCV RN), pada awalnya konsep NKT dikembangkan oleh FSC untuk sektor kehutanan dalam kerangka sertifikasi pengelolaan hutan lestari.
Pengelola HPH, HTI atau hutan rakyat yang ingin mendapatkan sertifikat pengelolaan hutan lestari, harus melalui penilaian dengan menggunakan standar pengelolaan hutan lestari. Sebagai salah satu standar hutan lestari adalah yang dikembangkan oleh FSC.
Sebelumnya, "stakeholder" NKT Indonesia pada tanggal 11 April 2011 telah membentuk Jaringan Nilai Konservasi Tinggi Indonesia. Jaringan ini didirikan oleh 113 individu dan organisasi yang aktif dalam NKT di Indonesia.
Tujuan didirikannya Jaringan ini adalah untuk meningkatkan kredibilitas, konsistensi dan kapasitas identifikasi NKT, meningkatkan dan mempromosikan kerjasama para pihak (untuk memanfaatkan) konsep NKT sebagai alat pendekatan dalam pengelolaan SDA berkelanjutan, menyediakan bahan/sumber informasi untuk penerapan konsep, dan memfasilitasi penyelesaian perbedaan interpretasi konsep NKT antar para pihak.
Meskipun pada awalnya konsep HCV digunakan dalam konteks sertifikasi pengelolaan hutan, namun hingga saat ini telah diterapkan untuk berbagai penggunaan termasuk pada perencanaan tata guna lahan, "advocacy" konservasi, perencanaan dan desain pembelian bahan baku yang bertanggungjawab dan kebijakan investasi.
Konsep NKT beserta perangkatnya kemudian banyak dikembangkan oleh organisasi internasional independen yang disebut HCV Resource Network (HCV RN) dan mempunyai sekretariat di Oxford, Inggris.
HCV RN yang dididirikan pada tahun 2006 dimaksudkan untuk memberi pelayanan dan panduan global bagi para pengguna konsep NKT. Pada tingkat lokal diperlukan lembaga yang memberi layanan sesuai dengan konteks lokalnya.
Di tingkat regional Asia Tenggara, khususnya Indonesia, penggunaan NKT makin meningkat dengan adanya sertifikasi perkebunan sawit melalui skema 'Roundtable on Sustainable Palm Oil' (RSPO) yang mensyaratkan identifikasi NKT dilakukan di perkebunan sawit.
Bertepatan dengan diselenggarakannya General Assembly FSC di Kota Kinabalu, Sabah, Malaysia, HCVRN melakukan penandatangan Nota Kesepahaman dengan Jaringan NKT Indonesia. Kedua belah pihak sepakat untuk menjalin kerja sama di tingkat global maupun pada tingkat lokal.
Di Indonesia, kedua organisasi akan mengembangkan dokumen-dokumen panduan yang relevan khususnya di Indonesia. Disepakati pula untuk mengatasi isu-isu yang berkaitan dengan interpretasi maupun kebijakan-kebijakan yang berpengaruh terhadap NKT.
Dalam penandatanganan Nota Kesepahaman ini Jaringan NKT Indonesia diwakili oleh Dwi R. Muhtaman sebagai Ketua Badan Pengurus Jaringan dan Aisyah Sileuw sebagai Badan Pengawas, dan and HCV RN diwakili oleh Marcus Colchester dan Peter Gardiner, Pimpinan Badan Pengarah HCV RN.
Network Global dari HCV RN sangat puas dapat berkolaborasi dengan NKT-Indonesia. Institusi itu menila membangun kerja sama dengan NKT Indonesia melalui MOU ini merupakan langkah maju dan ke depan diharapkan kerja sama yang lebih produktif dan harmonis untuk mempertahankan nilai-nilai sosial dan lingkungan yang penting di Indonesia, kata Marcus Colchester dari Pimpinan Badan Pengarah HCV RN.
(A027)
Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2011