"Harus ada alasan yang jelas, termasuk formulanya," kata pengamat telematika dan multimedia, Roy Suryo.
Jakarta (ANTARA News) - Kalangan pemerhati masalah telekomunikasi menilai PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom) Tbk tidak memiliki dasar untuk menaikkan tarif telepon pada 2006, di tengah adanya alternatif layanan komunikasi yang lebih murah. "Harus ada alasan yang jelas, termasuk formulanya," kata pengamat telematika dan multimedia, Roy Suryo, kepada ANTARA, di Jakarta, Jumat. Sementara itu, Ketua Masyarakat Telematika (Mastel) Mas Wigrantoro menganggap isu kenaikan tarif telepon melalui pola rebalancing (penyeimbangan) tidak relevan. "Untuk layanan Sambungan Internasional dan Sambungan Interlokal saat ini sudah ada teknologi berbasis internet (VoIP) yang justru biayanya lebih murah, sehingga bisa disubsitusi," ujar Wigrantoro. Hal itu disampaikan keduanya, menanggapi rencana pemerintah mengkaji usulan Telkom menyesuaikan keseimbangan tarif pada 2006, yang akan menyebabkan kenaikan tarif telepon lokal dan penurunan tarif sambungan langsung jarak jauh (interlokal). Usulan rebalancing tarif Telkom 2006 disampaikan Dirut Arwin Rasyid dalam suratnya (27 Oktober 2005), kepada Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) yang juga ditembuskan kepada Menkominfo Sofyan Djalil. Alasan kenaikan tarif menurut Telkom, antara lain adalah adanya tarif bersubsidi pada jasa telepon lokal dan tarif bulanan (abonemen), termasuk akibat kenaikan biaya operasional pasca kenaikan bahan bakar minyak (BBM). Dalam surat itu dilampirkan, tarif baru telepon lokal pukul 15.00-09.00 naik sekitar 30 persen, dari Rp250 per pulsa (3 menit), menjadi Rp325 per dua menit sepanjang waktu (00.00-24.00). Demikian juga tarif SLJJ, naik dari Rp1.135 per menit menjadi Rp1.400 per menit pada zona di atas 200 km. Selain itu, diusulakan juga rata-rata tarif bulanan (abonemen) naik 10,8 persen menjadi Rp38.500 per bulan, dari sebelumnya hanya Rp34.750 per bulan. Wigrantoro berpendapat, kenaikan tarif merupakan bagian dari bisnis, namun formulanya harus berbasis biaya (cost base). "Kalau dalam perhitungan sistem cost base-nya, kenaikan tarif lebih rendah dari biaya maka bisa dinaikkan, tapi kalau tarif lebih tinggi dari biaya maka tidak boleh dinaikkan," ujar Wigrantoro. Sementara itu, pengamat telekomunikasi Deddy Hermawan mengatakan, jika Telkom tetap bersikeras menaikkan tarif, bukan tidak mungkin konsumen akan mengalihkan pilihannya terhadap operator yang menawarkan tarif yang lebih rendah. "Layanan telepon tetap dengan harga lebih ringan juga sedang gencar dilakukan oleh operator lain, sebut saja Esia (Bakrie Telecom). Konsumen tentu akan lebih jeli mencari alternatif dalam berkomunikasi," ujar Deddy.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2006