Oleh karena itu, kata dia, mereka berbagai cara untuk mensiasati agar dana politik itu bisa kembali.
Walaupun dilakukan dengan cara melanggar hukum atau bisa saja mereka membuat proyek siluman.
"Ironisnya, tindakan korupsi itu dilakukan kepala daerah dan dewan secara bersama-sama," katanya di Rangkasbitung, Sabtu.
Agus mengatakan, pihaknya merasa prihatin data yang dikeluarkan Kementerian Dalam Negeri sekitar 158 kepala daerah (gubernur, bupati dan walikota) tersangka kasus tindak pidana korupsi.
Bahkan, jumlah tersebut sangat besar, sekitar sepertiga dari jumlah kepala daerah.
Menurut dia, saat ini pelaku tindak pidana korupsi yang dilakukan kepala daerah sangat memungkinkan, karena mereka mengeluarkan biaya politik cukup besar.
Selain itu juga pengawasan dari DPRD setempat maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sangat lemah, sehingga mereka sama-sama ikut mendukung untuk berbuat korupsi.
"Selama ini kasus korupsi kepala daerah dan dewan mereka mensiasati bermain proyek "siluman" atau fiktif untuk menutupi biaya politik itu," kata dosen Perguruan Tinggi La Tansa Mashiro Rangkasbitung.
Agus mengatakan, untuk mencegah prilaku korupsi tersebut harus menempuh dua pendekatan yakni dengan cara kultur budaya dan stuktural kelembagaan.
Pendekatan kultur budaya melalui pendidikan karakter, keagamaan, pengenalan pancasila dan gerakan antikorupsi.
Sedangkan, pendekatan stuktural kelembagaan dengan adanya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, dan kebijakan yang memberikan hukuman berat kepada pelaku korupsi.
Namun, kata dia, kedua cara pendekatan tersebut hingga kini kinerjanya belum maksimal sehingga pelaku korupsi masih terjadi di mana-mana.
Pembentukan KPK saat ini hanya kondisi darurat saja dan sewaktu-waktu pemerintah bisa membubarkan apabila sudah tidak ada lagi tindak korupsi di Tanah Air.
"Saya berharap satu-satunya untuk mencegah korupsi yang dilakukan kepala daerah dan dewan dengan mengoptimalkan lembaga KPK untuk menjerat mereka secara hukum," katanya. (ANT/K004)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011