Barcelona (ANTARA News) - Pada 22 Juni 2011 lalu dimulai pertemuan tingkat Menteri dari negara-negara
yang tergabung dalam kelompok G 20 di Paris, dimana Indonesia merupakan salah satu anggota G20. Topik utama yang dibahas adalah volatilitas harga pangan yang sangat fluktuatif dengan pola tidak karuan.
Sejumlah organisasi tani di Eropa telah siap melakukan demonstrasi untuk meminta pemimpin negara dari G20
mengambil langkah konkrit untuk stabilitas harga pangan. Volatilitas harga pangan menjadi persoalan serius saat ini karena dianggap sebagai salah satu faktor yang menyebabkan kerawanan pangan global.
Fluktuasi harga beras misalnya bisa mencapai 100 persen dalam satu tahun, hal yang sama terjadi pada komoditi lain seperti jagung, gandum, daging dan komoditi pangan lainnya. Fluktuasi yang tidak karuan ini sangat merugikan baik petani produsen maupun konsumen.
Volatilitas harga menimbulkan ketidakpastian, ketidakpastian meningkatkan risiko, dan risiko akan sangat menurunkan motivasi berproduksi, dampaknya tentu saja akan sangat mengganggu ketahanan pangan tiap-tiap negara, dan menimbulkan kerawanan pangan secara global.
Ditambah lagi dengan persoalan perubahan iklim yang sangat mengganggu sistem produksi. Bagi Indonesia volatilitas harga selain sangat berpengaruh terhadap produksi dan ketahanan pangan juga berdampak pada kehidupan sosial dan politik.
Kita meminta agar pemerintah RI yang mungkin diwakili Menteri Pertanian untuk memperjuangkan dengan serius bahwa kepentingan petani dan kepentingan nasional dalam Pertemuan Kelompok G20. Hendaknya pemerintah dapat meyakinkan pimpinan negara dari negara lain khususnya yang tergabung dalam kelompok G20 bahwa sektor pertanian memiliki ciri yang berbeda dari sektor industri, karena itu ketentuan perdagangan bebas (free trade) yang biasa berlaku di sektor industri tidak secara otomatis dapat diberlakukan di sektor pertanian.
Hendaknya negara sedang berkembang seperti Indonesia diberikan kebebasan secara mandiri urusan
domestik tanpa terlalu diikat sebagaimana ketentuan dalam WTO.
Selain itu beberapa isu penting lain yang harusnya dikemukakan sehubungan dengan fluktuasi harga pangan yang tajam antara lain meliputi: Pertama harus dipahami bahwa perdagangan pangan dunia sangatlah terkonsentrasi
di tangan sejumlah kecil negara. Untuk beras dikuasai oleh China, India, Amerika, Jepang dan sejumlah kecil oleh Thailand dan Vietnam. Demikian juga untuk gandum misalnya sekitar 75 persen ekspor gandum dunia ditangan 5 negara yaitu Amerika Serikat, Canada, Australia, Ferderasi Rusia, dan Perancis.
Karena itu sudah pasti negara negara inilah yang menentukan prilaku pasar komoditi pangan di dunia. Sementara yang menjadi konsumen adalah negara negara lain di luar itu yang jumlah sangat banyak, dan oleh karena itu posisi tawar mereka sangat lemah.
Lebih jauh dari itu bahwa perdangan pangan dunia di tangan segelintir Perusahaan Multinasional yang sangat oligopolis. Bahkan secara terselubung mereka membentuk Kartel untuk mengatur produksi, pemasaran dan
harga. Lagi-lagi perusahaan ini ada di negara-negara besar tersebut.
Struktur pasar global komoditi pangan yang sangat distortif ini sungguh sungguh akan mendorong prilaku ekonomi dan bisnis yang tidak fair. Untuk itu kepada juru runding pemerintah kita minta agar ada proses koreksi terhadap kekuatan global negara dan perusahaan tersebut untuk berprilaku fair dan tidak menyalah gunakan posisi dominan mereka (abuse of dominant position) yang berdampak sangat negatif bagi petani kecil dan konsumen terutama di negara-negara sedang berkembang.
Kedua menyangkut tidak transparannya informasi mengenai produksi dan stok pangan dunia. Masing-masing negara enggan membuka secara sungguh berapa sebenarnya produksi dan persediaan pangan mereka, apalagi stok yang dikuasai perusahaan global. Sehingga menyebakan kesulitan untuk memprediksi keseimbangan supply dan demand yang menentukan tingkat harga pasar.
Transparansi data harulah dibahas secara, negara-negara penguasa produksi dan perusahaan yang memegang stok pangan haruslah bersedia membuka data sehingga dapat dilakukan perencanaan dan proses stabilisasi harga.
Ketiga, bahwa tingkat produksi dan konsumsi kini tidak secara otomatis menentukan perkembangan harga pasar. Pangan sudah masuk dalam pasar komoditi dan perdagangan berjangka. Dimana para investor, fund manager dan spekulan kini menjadi penentu utama, padahal mereka itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan pertanian. Bila mereka kelebihan dana dan ingin masuk pasar, maka melonjaklah harga.
Ketika harga sudah dirasa cukup tinggi dan mereka perlu profit taking maka jatuhlah harga. Dengan demikian naik turunnya harga sama sekali tidak ada hubungannya dengan petani atau konsumen, tetapi murni ditentukan oleh fund manager. Ini juga merupakan isu yang sangat kritis untuk dibahas yakni bagaimana membatasi pengaruh para investor, fund manager dan spekulan di pasar komoditi.
Keempat adalah tentang praktik yang sering dilakukan berbagai negara untuk mengurangi ketersediaan pangan di pasar dunia dengan cara melarang, membatasi, dan menghambat ekspor. Ini terjadi misalnya beberapa waktu lalu saat terjadi krisis, sejumlah negara temasuk China, Thailand menghentikan ekspor beras. Hal ini tentu saja memperparah situasi pasar komoditi pangan.
Sejumlah negara lain yang tidak mampu memproduksi pangan sendiri menjadi korban, bahkan memicu kegoncangan politik sebagaimana terjadi di negara-negara Arab. Karena itu dalam Pertemuann G20 ini haruslah ada kesepakatan agar masing-masing negara anggota tidak memberlakukan kebijakan pembatasan ekspor.
Kelima, untuk menghindari bencana kelaparan dunia yang kemungkinan akan dialami negara-negara terbelakang yang tidak memiliki ketahanan pangan, dan untuk tujuan kemanusiaan seyognyanya ada kesepakatan untuk membentuk stok pangan global yang dicadangkan menghadapi terjadinya bencana kelaparan.
Minggu lalu (16 sd 18 Juni 2011) saya menghadiri pertemuan ahli dan masyarakat pertanian di Paris masalah kelaparan, malnutrisi, dan ketahanan pangan global menjadi isu sentral yang diperdebatkan.
Kita meminta agar Tim Negosiator Pemerintah nantinya sepulang dari Paris dapat membawa oleh-oleh yang bermanfaat bagi petani, khususnya adanya program konkrit agar petani tidak selalu menjadi korban kekacauan pasar global. (*)
*) Ketua Harian HKTI, President Advocacy Center for Indonesian Farmers, Dewan Pengurus Asian Farmers Group for Cooperation
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2011