Petani akan dapat untung bila hasil panen baik. Bila hasil panen buruk, maka petani berpotensi merugi dan pihak pedagang atau perusahaan yang melakukan sistem lindung nilai atau "hedging" tersebut berpotensi dapat tetap untung.
Jakarta (ANTARA News) - Sejumlah LSM seperti Serikat Petani Indonesia (SPI) dan Koalisi Anti Utang (KAU) mengkritik penerapan sistem "hedging" atau lindung nilai yang dipergunakan untuk memperdagangkan komoditas sebagai solusi atas krisis pangan.
"Sistem ekonomi pertanian yang ada saat ini harus diubah, termasuk sistem `hedging`," kata Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Serikat Petani Indonesia, Henry Saragih, di Jakarta, Kamis.
Sistem lindung nilai adalah suatu sistem jual beli terhadap suatu komoditas di bursa berjangka dengan komoditas yang akan diperdagangkan di pasar fisik, misalnya hasil panen petani.
Tujuan dari sistem itu antara lain adalah mengurangi risiko kerugian terkait dengan fluktualitas harga yang terjadi pada saat jual beli dilakukan di pasar fisik setelah panen tiba.
Namun, menurut Henry, sistem lindung nilai dapat berakibat buruk kepada petani. Ia mencontohkan, seorang petani akibat khawatir terhadap risiko perubahan iklim mencoba melindungi bisnis produksi pangannya dengan melakukan sistem itu atau menyetujui untuk menjual hasil panennya sebelum masa panen ke pedagang atau perusahaan.
"Ini menjamin harga pada satu titik, dan membuat pedagang bisa berinvesatasi lebih lanjut dengan hasil panen tersebut," katanya.
Akan tetapi, ia berpendapat bahwa petani akan dapat untung bila hasil panen baik. Bila hasil panen buruk, maka petani berpotensi merugi dan pihak pedagang atau perusahaan yang melakukan "hedging" tersebut berpotensi dapat tetap untung.
Senada dengan Henry, Ketua Koalisi Anti Utang (KAU) Dani Setiawan mengatakan, kritik terhadap "hedging" juga diperlukan untuk mengurangi aksi spekulan yang menimbulkan krisis pangan global pada saat ini.
Dani mengaku kecewa karena lembaga keuangan multilateral seperti Bank Dunia malah bekerja sama dengan perusahaan multinasional JP Morgan untuk mengeluarkan instrumen pendanaan baru yang dikhususkan bagi negara berkembang yang memakai model ini.
"Instrumen untuk lindung nilai atau `hedging` komoditas pertanian tersebut bernilai total 400 juta dolar AS," katanya.
Menurut dia, hal itu merupakan solusi yang salah karena yang seharusnya dilakukan adalah mengetatkan regulasi terhadap sejumlah perbankan besar dan "hedge fund" yang selama ini dinilai mengakibatkan krisis harga pangan.
(M040)
Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2011