Bangli  (ANTARA News) - Ribuan ikan baik yang hidup liar maupun dipelihara petani dalam ratusan keramba atau jaring terapung di hamparan Danau Batur, Kabupaten Bangli, Bali, kini terus menggelepar-gelepar kemudian sekarat, meregang, dan mati.

Binasanya ribuah ikan terutama jenis nila dan mujair itu terjadi setelah warna air Danau Batur mengalami perubahan sejak 19 Juni lalu.

Air danau yang semula tampak bening kebiru-biruan, berubah warna menjadi putih butek bagaikan air bekas cucian beras. Sejak itu, koloni ikan yang menyebar di areal danau, bergiliran sekarat dalam jumlah banyak, kemudian meregang, dan mati.

Kepala Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bangli Ir AA Ngurah Shamba ketika dihubungi di Bangli, Rabu, membenarkan bahwa ribuan ikan di hamparan danau seluas 16,5 kilometer persegi itu mendadak menggelepar dan mati sejak awal pekan ini.

Pihak dinas menduga telah lebih dari tiga ton ikan berbagai ukuran kini telah menjadi bangkai sejak fenomena alam cukup ganjil itu muncul di Danau Batur.

Fenomena alam yang cukup ganjil tersebut sebenarnya telah tiga kali terjadi di Danau Batur, setelah sebelumnya muncul pada akhir November 2007 dan awal Juli 2008.

Sama seperti kejadian sebelumnya, fenomena yang kembali muncul pada Minggu (19/6) siang itupun belum dapat dijelaskan mengenai faktor penyebabnya.

Sejumlah warga dan tokoh masyarakat yang bermukim di pinggir Danau Batur memduga perubahan air dari yang semula tampak membiru menjadi putih bagaikan air bekas cucian beras, terjadi karena adanya lutusan gunung di dasar danau.

Masalahnya, sesuai dengan catatan sejarah geologi, Danua Batur merupakan kaldera dari Gunung Batur purba yang meletus dahsyat sekitar 25 ribu tahun silam.

Seiring letusan tersebut, muncul kaldera seluas 138 kilometer persegi yang sebagian berupa danau, sisanya menjadi tempat pemukiman penduduk terdiri atas sejumlah desa yang terhimpun ke dalam Desa Bintang Danu.

Tidak hanya itu, di tengah kaldera atau di bagian tepi Danau Batur kini juga tampak berdiri Gunung Batur setinggi 1.717 meter di atas permukaan laut.

Baik gunung, danau maupun sejumlah desa yang terhimpun ke dalam Desa Bintang Danu, dari pandangan atas tampak bagaikan berada di dalam sebuah baskom raksasa.

Berdasarkan data, gunung yang kini berdiri di tengah kaldera, tercatat telah 26 kali meletus sejak tahun 1804. Letusan paling dahsyat terjadi pada September 1926, dan terakhir pada tahun 2000 dengan menewaskan seorang pendaki berkebangsaan Jerman.

Sehubungan gunung yang tergolong aktif, telah membuat warga setempat selalu menduga adanya aktivitas vulkanik pada setiap timbulnya perubahan warna air pada permukaan Danau Batur.

Pada kejadian 2007, permukaan air danau berubah menjadi coklat atau hijau kekuning-kuningan dari yang biasanya tampak membiru atau putih bening di bagian tepinya.

Sementara perubahan yang terjadi pada Juli 2008, antara lain ditandai dengan munculnya warna keputih-putihan disertai buih yang nyaris menyerupai busa detergen di permukaan air danau.

Untuk perubahan yang kali ini, tampak sebagian permukaan air danau memutih bagaikan air bekas cucian beras, sehingga kembali mengundang kecurigaan dan keresahan werga, terlebih bagi mereka yang membangun tambak ikan atau jaring terapung di danau tersebut.

"Kami takut kalau air danau yang merupakan sumber air bersih warga selama ini, tiba-tiba mengandung racun atau unsur yang membahayakan lainnya," kata Nyoman Gunada, penduduk yang bermukim di tepi barat Danua Batur.

Perlu penelitian
Senada dengan Nyoman Gunada, I Gede Tindih, tokoh masyarakat Bintang Danu yang juga mantan anggota DPRD Bangli, mengatakan, terkait munculnya kecurigaan warga terhadap kemungkinan air danau membahayakan, perlu dilakukan upaya penelitian oleh pihak yang berwenang.

"Kami harapkan yang berwenang dapat melakukan penelitian secepatnya," kata Tindih sembari menambahkan, jangan lantas setelah membawa musibah, baru terpikir untuk melakukan tindakan.

Kadis Shamba mengaku belum dapat memastikan penyebab berubahnya warna air danau yang disusul dengan matinya ribuan ikan.

"Penyebabnya kami belum dapat pastikan, namun dugaan sementara kemungkinan adanya letusan belerang di dasar danau," katanya.

Sementara Kepala Laboratorium Lingkungan Hidup, Badan Lingkungan Hidup (BLH) Provinsi Bali Gede Suarjana mengatakan, pihaknya sudah menurunkan tim untuk menyelidiki ribuan ikan yang tiba-tiba mati di hamparan danau yang banyak dikunnjungi wisatawan mancanegara itu.

"Secara ilmiah, belum bisa dipastikan penyebabnya, karena belum ada uji laboratorium," katanya menjelaskan.

Ia mengatakan, tim yang kini diturunkan di antaranya dari BLH Bali, DPRD Bali, Dinas Perikanan Bangli serta beberapa tenaga ahli untuk memantau langsung kondisi di lapangan.

"Bahkan saat ini Kabupaten Bangli sudah menurunkan satgas untuk melakukan evakuasi terhadap bangkai-bangkai ikan yang mengambang di permukaan air untuk diangkut ke darat," ucapnya.

Ditanya kemungkinan adanya letusan gunung di dasar danau, Suarjana mengaku belum dapat memastikan itu.

"Bila perubahan warna air tersebut memang disebabkan oleh letusan gunung api di dasar danau, maka hampir dapat dipastikan bahwa ikan-ikan tersebut mati karena itu," ujarnya.

Menurut dia, akibat letusan, kadar oksigen di dalam air danau akan menurun tajam. "Ini yang menyebabkan ikan dan biota perairan lainnya menjadi mabuk," katanya.

Kadar oksigen menjadi berkurang akibat meningkatnya sulfurdioksida (So2) serta jenis-jenis logam lain yang bersember dari letusan. Seiring dengan itu, kadar belerang juga menjadi tinggi hingga ikan menjadi keracunan.

"Ini fenomena alam yang terjadi secara mendadak dan menyebabkan sulitnya makluk hidup untuk mendapatkan oksigen secara sempurna," kata Suarjana.

Ia mengatakan, penyebab lain kemungkinan besar akibat PH air yang rendah, keasaman meningkat dan ikan akan banyak yang mati. Kondisi ini juga bisa disebabkan oleh pencemaran limbah masyarakat, pakan ikan dari keramba nelayan yang membusuk dan sebagainya, sehingga kandungan fosfor (f4) meningkat tajam.

"Namun dari informasi lapangan yang kami terima, kemungkinan besar akibat letusan gunung api yang terjadi di dasar danau, karena sempat terjadi gempa sebelum air danau berubah warna," katanya.

Kendati demikian, lanjut dia, untuk lebih jelasnya masih harus menunggu hasil uji pada laboratorium, termasuk penelitian yang lebih seksama di lapangan.
(P004/Z002)

Oleh Yanes Setat
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011