"Itu dengan asumsi, dari tujuh juta kendaraan angkutan umum di jalan, terkena pungli minimal Rp10.000/unit/hari. Pungli ini dilakukan oleh oknum Kepolisian, Dinas Perhubungan dan preman," kata Ketua Umum DPP Organda, Murphy Hutagalung.
Jakarta (ANTARA News) - Organisasi Pengusaha Angkutan Darat (Organda) menyebutkan pungutan liar (pungli) baik resmi maupun sebaliknya kepada angkutan umum di jalan mencapai Rp18 triliun per tahun. "Itu dengan asumsi, dari tujuh juta kendaraan angkutan umum di jalan, terkena pungli minimal Rp10.000/unit/hari. Pungli ini dilakukan oleh oknum Kepolisian, Dinas Perhubungan dan preman," kata Ketua Umum DPP Organda, Murphy Hutagalung menjawab pers di Jakarta, Kamis. Menurut dia, tidak hanya itu, pengusaha juga harus menanggung beban pungli saat pengujian (kir) kendaraan, yang nilainya tiga kali lipat dari harga resmi. Juga pungli saat pengurusan surat kendaraan, dari perizinan hingga perpanjangan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK). Oleh karena itu, dia menyebutnya kondisi usaha angkutan umum sudah tidak kondusif karena pengusaha tidak hanya dicekik pungli, tetapi juga suku bunga kredit yang tinggi, termasuk biaya operasional yang sudah jauh di atas batas kewajaran. "Dengan kondisi ini, bukan tak mungkin di masa depan angkutan umum menjadi barang langka. Artinya, sudah sangat bleeding. Mereka tinggal menghitung hari saja, satu persatu berguguran. Setahun saja dari sekarang, saya perkirakan semuanya bakal bangkrut," tandasnya. Selain itu, pengusaha juga harus menanggung beban kenaikan harga BBM, harga kendaraan yang meninggi, komponen dan pelumas yang juga ikut naik. "Belum lagi, untuk mereka yang menekuni rute jarak jauh, sudah beberapa tahun terakhir didera tarif murah pesawat," tukasnya. Karenanya, tambah Murphy, tidak ada jalan lain, kecuali pemerintah harus mencarikan jalan keluar penyelamatan antara lain dengan menghapus semua retribusi dan pajak berkaitan dengan angkutan umum, meminimalisir pungli dan mendorong pihak perbankan untuk memberikan insentif suku bunga kredit. Dia mengingatkan di negara-negara lain, termasuk ASEAN, angkutan umum disubsidi penuh oleh pemerintah setempat sehingga biaya transportasi masyarakat hanya sekitar 10 persen saja dari total pengeluarannya. "Bandingkan dengan Indonesia, biaya transportasinya yang mencapai 20-50 persen. Ini pengeluaran luar biasa. Masyarakat pun kesulitan. Karenanya, kami tak mau insentif kepada kami berupa kenaikan tarif karena hal itu tak menyelesaikan masalah," katanya. Karenanya, dia berharap pemerintah menyadari bahwa angkutan umum merupakan sektor strategis dan pemicu bergeraknya perekonomian. "Kesadaran ini musti diiringi perbaikan luar biasa dalam men-treatment usaha angkutan umum," demikian Murphy.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2006