Jakarta (ANTARA News) - Kalangan industri menilai kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) akan menghantam kemampuan daya saingnya di dalam maupun luar negeri, sehingga berdampak terhadap melemahnya pertumbuhan industri untuk menyerap tenaga kerja lebih banyak."Kenaikan TDL akan semakin menyulitkan kita untuk bersaing, tidak hanya di pasar ekspor tapi juga di dalam negeri," ujar Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) DKI Jakarta, Irwandy MA Rajabasa, Kamis. Dikatakannya, saat ini saja industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) harus bersaing ketat dengan produk cuci gudang dari negara lain yang masuk ke Indonesia berharga murah sekitar Rp10.000 per pakaian, karena impornya dihitung borongan seharga sekira Rp40 juta sampai Rp60 juta per kontainer.Selain itu, kata dia, persaingan di pasar ekspor pun semakin ketat, terutama dari Cina yang kini merajai pasar dunia. "Kenaikan TDL akan memicu kenaikan biaya produksi mencapai sekitar 20 persen yang akan berdampak pada naiknya harga produk tekstil Indonesia," ujar Irwandy. Dikatakannya, bila produk TPT Indonesia tidak bisa bersaing, maka diakuinya tidak ada jalan lain kecuali melakukan efisiensi lebih tinggi lagi dengan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). "Saat ini saja rata-rata pemanfaatan kapasitas produksi (utilisasi) industri TPT nasional hanya sekitar 60 persen, bila kemampuan bersaing semakin melemah, maka utilisasi akan turun lagi, yang berarti PHK akan terjadi lagi," kata Irwandy. Hal senada dikemukakan Dirut PT Krakatau Steel, Daenullhay. Dikatakannya, kenaikan TDL akan semakin memberatkan industri baja nasional, karena listrik dan gas memberi kontribusi yang tinggi pada struktur biaya produksi, yaitu sekitar 17 persen. "Kalau biaya itu naik, maka akan berdampak pada naiknya biaya produksi dan harga penjualan produk baja kita. Padahal saat ini produk baja dari Cina sudah siap-siap masuk ke dalam negeri," ujarnya. Daenullhay khawatir kenaikan TDL akan semakin menurunkan daya saing produk baja nasional dari segi harga, karena baja Cina yang kini siap masuk pasar Indonesia itu diperkirakan akan mampu bersaing dengan produk baja Indonesia meskipun dikenakan bea masuk (BM) 15 persen. Menanggapi berapa toleransi kenaikan TDL yang bisa diterima industri baja yang sangat banyak memanfaatkan listrik dalam proses produksinya, Daenullhay mengatakan tidak ada toleransi.Oleh karena itu, Irwandy meminta pemerintah mengaudit PLN, karena ia menilai biaya listrik yang tinggi beserta rencana kenaikan TDL yang harus diterima industri tidak lepas dari salah urus manajemen PLN yang dinilainya banyak melakukan penggelembungan nilai (mark up). "Jangan salah urus manajemen PLN itu, menjadi beban konsumen, sehingga kami harus menerima harga listrik yang mahal. Padahal, pasokan listrik dimonopoli PLN, karena dulu kami dipaksa menggunakan PLN, karena ingin menggunakan genset, tapi dikasih pajak yang mahal," ujarnya. Irwandy mengatakan, kalau betul terjadi salah urus PLN, maka sebaiknya PLN dipailitkan saja dan diganti dengan institusi baru. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2006