Radikalisme bukan hanya soal pikiran dan filosofi, melainkan juga persoalan makanan sampai kesalahan elementer.
Jakarta (ANTARA) - Direktur Klinik Pancasila Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Dody Susanto mengajak generasi muda Indonesia untuk mewaspadai serangan pintar 10-F yang memicu seseorang terpapar radikalisme.
"Radikalisme itu dipicu oleh sepuluh faktor yang dikenal dengan serangan pintar 10-F," ujar Dody Susanto saat menjadi narasumber dalam webinar bertajuk Peranan Pancasila dalam Pencegahan Radikalisme di Perguruan Tinggi, dipantau dari Jakarta, Rabu.
Serangan pintar 10F itu, lanjut Dody, terdiri atas serangan pintar food (makanan), fun (budaya bersenang-senang), fantasi, fashion, finansial, filosofi, friction (gesekan), foreign (asing), filosofi, fate (kepercayaan), dan fail (kesalahan).
Selanjutnya, Dody pun menjelaskan satu per satu dari 10 serangan pintar yang memicu pemaparan radikalisme tersebut.
Pertama, kata dia, serangan pintar food adalah serangan yang membuat seseorang terpapar radikalisme melalui konsumsi makanan dengan kandungan tiga dimensi bahan, yaitu pemanis, pengawet, dan perasa. Tiga zat kimia itu masuk ke dalam makanan yang dikonsumsi anak bangsa sehingga merusak metabolisme mereka.
"Jadi, kalau seseorang terbiasa mengonsumsi bahan pengawet, pemanis, dan perasa, secara kimiawi dan biologis, tubuhnya sudah rusak dan itu menyebabkan instabilitas emosional sehingga radikalisme cenderung bertemu di alam pikiran," kata Dody.
Faktor kedua adalah serangan pintar fun atau budaya bersenang-senang, yaitu kondisi ketika seseorang terbiasa bersenang-senang, bahkan menjadi kehilangan kendali atas dirinya sendiri.
Dody mengatakan bahwa serangan fun menyebabkan manusia terdorong secara instingtif melakukan tindak radikalisme.
Ketiga, kata dia, adalah serangan pintar fantasi, yakni ilusi dan imajinasi berlebihan yang mengganggu stabilitas pikiran seseorang dan mendorongnya bertindak radikal.
Berikutnya, lanjut Dody, serangan pintar keempat adalah fashion dalam artian luas yang dapat dilihat dari kebiasaan membagikan status aktivitas sehari-hari di media sosial.
"Contohnya, kebiasaan seseorang membagikan status di media sosial, seperti sedang makan lalu diunggah. Fashion ini berbahaya karena mendorong orang menjadi konsumtif sehingga ekonomi dalam negeri tergerus. Jika kehilangan akumulasi finansial, bisa menjadi radikal," jelas Dody.
Serangan pintar yang kelima, finansial dapat dilihat ketika seseorang dengan gaji terbatas, melakukan kredit. Serangan seperti itu, kata Dody, dapat memicu seseorang menjadi radikal untuk memenuhi keinginannya yang dibatasi oleh finansial.
"Selanjutnya, serangan keenam adalah serangan pintar filosofi. Ini tugasnya BNPT, yaitu perang ideologi. Seperti sekarang, kita ada perang ideologi transnasional mulai dari isu kekerasan dan radikailisme," katanya.
Ketujuh, serangan pintar friction merupakan gesekan-gesekan antarmasyarakat Indonesia yang dikenal beragam sehingga memicu kemunculan kelompok radikal.
Kedelapan adalah serangan pintar foreign. Dody menjelaskan bahwa serangan tersebut datang dari sesuatu yang asing bagi anak bangsa namun ternyata memaparkan radikalisme.
Ada pula serangan pintar fate (kepercayaan) sebagai pemicu kemunculan kelompok yang berlebihan meyakini kepercayaannya namun dalam pemahaman yang menyimpang.
"Serangan ini muncul karena Indonesia merupakan bangsa dengan agama yang beragam," ujar Dody.
Serangan pintar yang terakhir adalah fail, yaitu serangan ketika seseorang melakukan kesalahan berlebihan dan memicu dirinya terpapar radikalisme.
"Dengan pemahaman serangan pintar 10-F ini, kita punya wawasan baru bahwa radikalisme bukan hanya soal pikiran dan filosofi, melainkan juga persoalan makanan sampai kesalahan elementer," kata Dody.
Oleh karena itu, dia pun mengajak anak bangsa Indonesia untuk mewaspadai seluruh serangan pintar itu.
Baca juga: BNPT apresiasi Pemkab Garut respon cepat munculnya paham NII
Baca juga: Anggota DPR harap BNPT segera cegah modus terorisme melalui perempuan
Pewarta: Tri Meilani Ameliya
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2022