Kini cuaca tak menentu, terkadang dari November sudah tak bisa melaut
Palembang (ANTARA) - Nelayan asal Sumatera Selatan menyebutkan cuaca dalam beberapa tahun terakhir semakin ekstrem sehingga membuat masa mereka tidak bisa melaut lebih lama dari biasanya.
Aning, nelayan asal Palembang yang dijumpai di Gudang Ikan Palembang, Rabu, mengatakan gelombang tinggi hingga 5 meter di perairan Natuna, Kepulauan Riau, terkadang sudah terjadi sejak November.
Padahal, sebelumnya gelombang tinggi pengaruh angin barat itu terjadi hanya tiga bulan dari mulai Desember sampai Februari.
Baca juga: Potensi bencana hidrometeorologi di Sumatera Selatan meningkat
“Kini cuaca tak menentu, terkadang dari November sudah tak bisa melaut,” kata Aning.
Ia mengatakan kondisi ini membuat sebagian anak buah kapal asal Jawa memilih pulang kampung, dan sebagian lagi menetap di Palembang untuk menjaga atau memperbaiki kapal.
Ada pula dari nelayan itu beralih bekerja di kapal-kapal ikan yang beroperasi di perairan Papua karena gelombang laut di sana relatif tidak setinggi di Natuna.
Baca juga: Palembang dihantam angin kencang berkecepatan 72 kilometer per jam
“Aktivitas selama menunggu ini, paling diisi dengan memperbaiki kapal, jaring, memompa air supaya kapal tak tenggelam, ya seperti itu rutinitasnya,” kata dia.
Kapal-kapal nelayan Palembang yang biasa bersandar di Dermaga 12 Ulu ternyata melaut hingga ke Kepulauan Natuna, Provinsi Kepulauan Riau atau menuju lokasi tangkap di paling utara Selat Karimata.
Kapal-kapal berkapasitas 30 GT itu harus melaut hingga ribuan mil lantaran jumlah ikan di perairan Sungsang, Bangka Belitung, sudah tidak banyak lagi.
Sejak tahun 1990-an, kapal-kapal sudah ke Pulau Natuna. Bukan hanya dari Palembang, daerah-daerah dari Sumatera juga ke sana, ujar dia.
Baca juga: BMKG: Tujuh Kabupaten di Sumsel waspada bencana longsor dan banjir
Berkurangnya tangkapan ikan di perairan Sumatera Selatan yakni kawasan Sungsang dan sekitarnya ini juga dibenarkan nelayan lainnya.
Aziz (64), nelayan asal Sungsang, Banyuasin, mengeluhkan kurangnya tangkapan ikan sejak sepuluh tahun terakhir sehingga memaksanya harus berlayar hingga ke Kepulauan Riau.
Namun, upaya itu pun sulit karena gelombang laut yang demikian tinggi bukan hanya di saat musim angin barat.
Baca juga: Sumsel siaga hadapi bencana hidrometeorologi sampai triwulan 2022
"Jika hanya berlayar ke perbatasan Bangka, jumlah tangkapan sudah sangat sedikit, jadi saya dan teman-teman ke Kepulauan Riau, mau tidak mau," kata Aziz.
Aziz mulai menjadi nelayan pada puluhan tahun silam. Saat ini ia memiliki kapal berkapasitas 5 GT yang digunakan bersama empat rekannya. Setiap keuntungan yang didapat dari penjualan ikan akan dibagi rata setelah dikurangi biaya produksi.
Baca juga: BMKG keluarkan peringatan dini hujan level waspada di Sumsel
Pewarta: Dolly Rosana
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2022