Jakarta (ANTARA News) - Setiap tanggal 5 Juni, kita patut acungkan jempol atas jerih payah KLH meramaikan hari lingkungan hidup dengan berbagai event mulai dari pameran lingkungan yang diikuti berbagai pemangku kepentingan (stakeholders) lingkungan, seminar, talk show lingkungan, kegiatan pembangkitan kesadaran lingkungan, aksi nyata peduli lingkungan, dsb.

Seiring dengan itu, ada baiknya pula, jikalau kita mencoba me-reka-reka sampai sejauh mana performa lingkungan kita dalam dimensi ruang dan waktu.

Mari mundur sejenak ke awal adanya UU Lingkungan di bumi Nusantara ini yakni sejak UU No 4 tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan, lalu digantikan oleh UU No 23 tahun 1996 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, kemudian diperbaharui lagi dengan UU No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan.

Pada dua UU sebelumnya (1982 dan 1996), belum disinggung adanya terminologi trade off dalam pengelolaan lingkungan.

Pada UU No 32 tahun 2009 diintroduksi instrumen ekonomi dalam pengelolaan lingkungan, yang seyogyanya tercakup valuasi sumberdaya alam. Dalam valuasi tidak hanya manfaat tangible (kasat mata) dari sumberdaya alam yang dikuantifikasi dengan nilai rupiah, tapi nilai guna intangible juga diupayakan dirupiahkan.

UU ini mengamanahkan dibentuknya Peraturan Pemerintah tentang instrumen ekonomi lingkungan, yang saat ini sedang diformulasikan. Sekarang sudah ada Panduan Umum Valuasi Ekonomi Dampak Lingkungan Untuk Penyusunan Amdal (2001).

Fungsi dan Jasa Lingkungan
Sebutlah, sebuah ekosistem hutan bakau (mangrove), di mata pengembang perumahan, barangkali hamparan ekosistem bakau tersebut akan jauh bernilai guna jika disulap menjadi water front city atau perumahan bernuansa pantai.

Mereka barangkali kurang menyadari adanya fungsi dan jasa ekologis yang disiratkan dalam ekosistem hutan bakau seperti: tempat berkembang biak (breeding ground), tempat asuhan (nursery ground), dan tempat mencari makan (feeding ground) biota laut, penahan gelombang, penyerap karbon (carbon sink), pelindung pantai, dsb.

Dalam mengkuantifikasi manfaat pembangunan, ada ongkos ekologi yang tidak boleh dinegasikan begitu saja. Ongkos ekologi tersebut lalu diintegrasikan dalam laju pertumbuhan pembangunan (ekonomi) yang terjadi. Laju pertumbuhan ekonomi semisal 6% per tahun mungkin akan menciut, jika dikurangi dengan ongkos ekologi.

Apalagi sebagian besar pertumbuhan ekonomi kita bertumpu pada penggalian sumberdaya alam baik hayati maupun non hayati, sehingga ongkos ekologi yang muncul juga akan lebih besar, ketimbang pertumbuhan yang berbasis properti intelektual.

Ketersediaan sumberdaya alam bersifat terbatas. Sebaran kualitas dan kuantitasnya tidak merata. Terutama untuk sumberdaya alam tak terbaharui (non renewable). Permintaan sumberdaya alam mengalami ekskalasi, sebagai konsekuensi peningkatan pembangunan.

Khusus untuk sumberdaya non renewable sebagian besar diekspor ke luar negeri. Anak bangsa ini kiranya belum cukup lihai mengolah bahan tersebut hingga menjadi produk akhir (finished product).

Bahkan untuk produk hayati pun, lebih banyak dikapalkan ke luar negeri dalam bentuk bahan mentah. Sedihnya lagi untuk produk pertanian tropis, kita dengan lapang dada membuka pasar lebar-lebar.

Tak heran kalau berbagai macam jeruk asing, hampir mengenyahkan jeruk Pontianak dan Jeruk Medan di pasaran. Untuk pisang pun kita sepertinya lebih terpesona dengan pisang impor, padahal pisang lokal banyak sekali corak ragam dan rasanya.

Apakah ini semua akibat Letter of Intent dengan IMF yang tak kuasa ditolak kala kita didera krisis moneter tahun 1997 silam ? Juga apakah merupakan konsekuensi dari AFTA (Asean Free Trade Area), dan globalisasi pasar lainnya, yang tak juga bisa kita bendung ?

Dengan semakin dikeruknya sumberdaya alam baik hayati maupun non hayati, tak pelak lagi akan memodifikasi kemampuan daya dukung lingkungan, yang selanjutnya pun akan mengganggu daya tampung lingkungan hidup.

Pesatnya pembangunan di segala bidang membawa risiko pada timbulnya pencemaran dan perusakan lingkungan, yang dapat mengganggu keseimbangan struktur dan fungsi ekosistem sebagai penunjang kehidupan.

Pada era reformasi di segala lini kehidupan ini, pengerukan sumberdaya alam secara individual yang tak mengindahkan kaidah kesehatan, keselamatan pekerja, dan pelestarian lingkungan, makin marak dilakukan.

Tengoklah pertambangan timah inkonvensional di Bangka, pertambangan batubara di Kalimantan Selatan, para gurandil (penambang emas), dsb. Kita akan miris menyaksikan bekas galian tambang yang teronggok dan menyisakan kubangan-kubangan raksasa yang idle (tak dimanfaatkan).

Trade off Ekologi dan Sosial Kemasyarakatan
Di lain pihak para penambang multinasional katanya telah memperlihatkan ketaatan (complience) terhadap pengelolaan lingkungan, ditunjukan dengan diperolehnya peringkat biru dan bahkan terkadang hijau pada program PROPER.

Namun menilik massive-nya kuantitas sumberdaya alam non hayati yang dikeruk, kita jadi khawatir jangan-jangan percepatan habisnya sumberdaya alam kurang sepadan dengan manfaat yang kita peroleh sebagai putra bangsa yang berhak terhadap sumberdaya alam tersebut.

Selain trade off (~analog kompensasi) terhadap ongkos ekologi yang perlu diperhitungkan, trade off terhadap sosial kemasyarakatan seyogyanya perlu dikedepankan dengan seksama.

Kita was-was kelak habisnya bahan tambang di Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kabupaten Musi Banyuasin, yang saat ini katanya sebagai kabupaten terkaya kesatu dan kedua, tidak menyisakan trade off ekologi dan sosial yang memadai setelah pasca habisnya sumberdaya tambang di sana.

Kita tahu memang bahwa perusahaan telah berkonstribusi dalam bagi hasil kekayaan alam yang dikeruk, dengan pemerintah. Bahkan dengan adanya otonomi daerah, wilayah dimana sumberdaya alam tersebut digali akan menuai porsi yang signifikan.

Arahan dalam merumuskan kebijakan trade off ekologi dan sosial ini menjadi domainnya pemerintah, sehingga pemanfaatan dana perimbangan dan trade off betul-betul didedikasikan untuk kedua hal tersebut, bukan untuk proyek mercu suar atau malah sebagai ladang untuk dikorupsi.

Dari sisi ekologi, paling tidak fungsi dan jasa ekologi yang ada dapat dipulihkan. Dari sisi trade off sosial, masyarakat d isana tidak kembali miskin setelah habisnya bahan tambang.

Semestinya muncul keunggulan usaha spesifik yang berbasis sumberdaya hayati atau berbasis keterampilan dan intelektualitas, yang merupakan hasil pembinaan dari perusahaan yang saat ini beroperasi sebagai trade off sosial.
Upaya menyelaraskan trade off ekologi dan sosial inilah yang seharusnya menjadi fokus utama dalam pengelolaan lingkungan, juga dalam implementasi CSR (Corporate Social Responsibility) di era modernitas ini. Sejatinya pengejawantahan pengelolaan lingkungan dan CSR tidak dimaknai semata hanya untuk menggugurkan kewajiban.

Jika tidak, maka terjadinya perusakan lingkungan hidup terus menjadi beban lingkungan dan sekaligus merupakan beban sosial, yang konsekuensinya diderita oleh masyarakat sebagai khalayak yang terkadang mungkin hanya bisa menjadi penonton, atau bahkan asing (outsiders) di kampungnya sendiri.
(***)

*) Sekretaris Eksekutif PPLH-IPB

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2011