Jakarta (ANTARA) - Ketua DPR RI Puan Maharani mengatakan pembahasan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) akan dilakukan di Badan Musyawarah (Bamus) DPR.

"Ya, nanti kami bicarakan di Bamus. DPR kan terdiri atas sembilan fraksi, kami akan sampaikan ke fraksi hasil dari Bamus DPR yang akan kami paripurnakan," kata Puan usai Rapat Paripurna Pembukaan Masa Persidangan III Tahun Sidang 2021-2022 DPR di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa.

Menurut dia, RUU TPKS akan disahkan sebagai RUU Inisiatif DPR pada Selasa (18/1).

Baca juga: Puan: Kepastian RUU TPKS di sidang paripurna DPR

"Insyaallah RUU tersebut akan disahkan sebagai RUU Inisiatif DPR RI pada hari Selasa (18/1) yang akan dibahas bersama dengan pemerintah," kata Puan.

Dia tidak menargetkan kapan RUU TPKS selesai dibahas karena akan menerima masukan kembali dari masyarakat.

"Ya, targetnya adalah secepat-cepatnya dan pembahasannya terbuka menampung masukan dari umum. Kemudian, daftar inventarisasi masalah (DIM) pemerintah akan dibahas bersama," katanya.

Baca juga: Puan: Persoalan harga minyak goreng mahal jadi ironi

Puan berharap RUU TPKS akan bermanfaat bagi masyarakat ke depan dan menjadi UU yang tidak cacat hukum.

Dengan meningkatnya berbagai kasus kekerasan seksual akhir-akhir ini, katanya, maka RUU TPKS telah menjadi kebutuhan hukum nasional yang perlu segera dibahas dan ditetapkan DPR RI bersama pemerintah.

"Adanya pembiaran dari orang-orang sekitar menyebabkan kekerasan seksual terjadi di lingkungannya sendiri," kata Puan.

Baca juga: Puan minta pemerintah kendalikan harga kebutuhan pokok

Sementara itu, Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar mengatakan sebelum UU TPKS disahkan, maka pemerintah perlu melakukan dua hal karena maraknya kekerasan seksual.

"Pertama adalah membuat 'hotline' yang efektif dan tindakan represif sehingga ada efek jera," kata Muhaimin.

Kedua, lanjut dia, kesadaran masyarakat harus merata terutama informasi dan kesadaran akan bahaya kekerasan seksual yang kadang oleh rakyat dan masyarakat sendiri tidak dipahami dengan baik.

"Bahwa tindakan-tindakan itu terjadi karena masyarakat apatis dan tidak proaktif. Itu lebih cepat dilakukan sambil menunggu UU ini disahkan," kata Muhaimin.


Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: Herry Soebanto
Copyright © ANTARA 2022