Aset sejarah yang lengkap dengan fakta-fakta kebudayaan sebagai penandanya itu seharusnya tetap lestari dan jadi aset yang bisa dikelola oleh pemilik kebudayaan itu sehingga menjadi sumber ekonomi bernilai tinggi bagi perkembangan kepariwisataan.

Jambi (ANTARA News)-Budayawan dan peneliti kebudayaan Kerinci Iskandar Zakaria, mengaku merasakan degradasi atau pergeseran kebudayaan Proto-Melayu

"Degradasi dan erosi budaya tersebut terjadi disebabkan makin dominannya hegemoni paham agama dalam fanatisme sempit dan berlebihan sehingga menimbulkan sikap sinisme," ungkap Budayawan dan peneliti kebudayaan Kerinci Iskandar Zakaria, di Kerinci, Sabtu.

Menurut dia, kondisi ini sangat tidak baik bagi pengembangan kebudayaan negeri dan terancam rusak atau punahnya indentitas negeri Sakti Alam Kerinci di mata publik luas, sebagai masyarakat Proto-Melayu yang masih tersisa di masa modern saat ini.

"Pasalnya, selama ini telah beratus-ratus tahun masyarakat Kerinci terbukti telah berhasil mensejalankan antara agama dan tradisi-tradisi lama mereka dalam satu alur yang tidak melanggar syariat, sehingga antara agama dan kebudayaan bisa berjalan seiring," terangnya.

Produk-produk budaya Proto-Melayu tetap bertahan di Kerinci, ketika di daerah-daerah Proto-Melayu lainnya seperti di Minangkabau, Batak dan Rejang-Lebong bukti-bukti sejarah itu telah hilang dan punah keberadaannya tergerus hegemoni paham ideologi kelompok mayoritas dan atau terkena bencana alam.

"Masyarakat Kerinci seharusnya bangga karena berhasil hadir sebagai kelompok masyarakat satu-satunya yang masih tersisa melestarikan budaya-budaya Proto-Melayu mereka dari masa ke masa, sekarang malah akan dimusnahkan," tegasnya.

Hal tersebut tentunya saja akan sangat merugikan karena bisa membunuh keberagaman dan kelengkapan potensi unggul yang dimiliki Kerinci sebagai daerah Proto-Melayu yang telah tumbuh berkembang dari masa ke masa, mulai dari zaman purba megalitikum jauh dari pra-Islam hingga masa quantum modern saat ini.

"Aset sejarah yang lengkap dengan fakta-fakta kebudayaan sebagai penandanya itu seharusnya tetap lestari dan jadi aset yang bisa dikelola oleh pemilik kebudayaan itu sehingga menjadi sumber ekonomi bernilai tinggi bagi perkembangan kepariwisataan," terangnya.

Bukannya seperti yang terjadi saat ini, tegasnya, ada pihak yang terus berupaya mengarahkannya tumbuh seragam sesuai selera dan paham keagamaan yang dianut, dan dengan sendirinya sengaja mengorbankan sisi penting lain dari kebudayaan itu sendiri, karena kaum agama menilai hal itu tidak sesuai dengan ajaran agama.

Hal itu, katanya, adalah upaya menciptakan ruang kemonotonan yang kaku dan membosankan bagi sebuah dunia pariwisata, dan akibatnya Kerinci tidak akan pernah bisa berkembang baik ekonomi masyarakatnya maupun terciptanya jati diri dan karekter masyarakatnya yang kuat.

Selain telah mencirikan betapa sesungguhnya pada masanya dulu manusia Kerinci adalah kelompok masyarakat yang intelek, tapi hal itu juga sekaligus mencerminkan itulah salah satu indikator kenapa agama dan kebudayaan masyarakat Kerinci bisa berjalan seiring dan saling mengukuhkan diantara keduanya hingga saat ini.

"Itu ciri dan indikasi betapa masyarakat Kerinci sudah punya metodologi dan ideologi tersendiri yang kokoh berangkat dari pandangan atau falsafah hidup yang terangkat dari proses tradisi bahwa kebudayaan adalah bagian integral yang utuh dari paham keagamaan," terangnya.

"Masyarakat yang mayoritas Muslim itu mampu menelaah dan memilah-milih lalu memelihara sisi-sisi dan kisi-kisi kebudayaannya itu mana yang dilarang ajaran agama, yang dibolehkan syariat dan yang bisa dimanfaatkan untuk sarana dakwah syiar agama," terangnya.

Beberapa produk kebudayaan yang kini telah berubah jadi karya kesenian itu adalah tari Asyek, tari entak Kudo, tari Titi Mahligai (menari diatas api, beling, pedang dan duri), atraksi Marcok (debus Kerinci), Basambai (Reog Kerinci), Teater Ngagouh Himau (memanggil harimau), Lukah gilo dan Lesung gilo (Atraksi jelangkungan).

"Tradisi-tradisi purba yang dulunya adalah ritual itu kini telah berkembang dan berubah menjadi sebatas fakta dan bukti sejarah dengan berasimilasi menjadi seni pertunjukan untuk sajian hiburan bagi masyarakat, sama halnya dengan seni kontemporer saat ini layaknya pentas musik, sulap dan sirkus," tandasnya.

(T. KR-BS) (ANTARA)

Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2011