"Ribuan eks pengungsi Timtim yang masih bermukim di Kabupaten Belu dan Timor Tengah Utara tidak ingin Indonesia difitnah oleh bangsa lain. Ini menyangkut martabat sehingga kami siap menghadapi resiko apapun demi keharuman nama Indonesia," kata Joao d
Atambua, NTT (ANTARA News) - Masyarakat eks pengungsi Timor Timur (Timtim) tidak menginginkan bangsa Indonesia difitnah bangsa lain sehingga demi martabat bangsa, mereka rela mati membela dan menjaga keharuman nama Indonesia di tapal batas darat Indonesia dengan Timtim. Pernyataan itu diungkapkan sesepuh eks pengungsi Timtim, Joao da Silva Tavares, di hadapan 50-an tokoh dan pemuda eks pengungsi Timtim di Atambua, Rabu, dalam jumpa pers untuk menyampaikan sikap eks pengungsi Timtim atas kematian Candido Mariano, Jose Mausorte dan Stanis Maubere yang ditembak polisi Timtim (6/1). "Ribuan eks pengungsi Timtim yang masih bermukim di Kabupaten Belu dan Timor Tengah Utara, kata dia, tidak ingin Indonesia difitnah oleh bangsa lain. Ini menyangkut martabat sehingga kami siap menghadapi resiko apapun demi keharuman nama Indonesia," katanya. Dia mengatakan, dirinya mencintai Indonesia sejak Timtim belum berintegrasi dengan Indonesia. Kecintaannya pada Indonesia terpateri secara mangagumkan ketika dirinya menikahi seorang perempuan Indonesia 21 Juli 1957 dan sejak itu pula berjuang untuk keharuman nama bangsa dan negara Indonesia. Tavares mengatakan, bukti cinta ribuan rakyat Timtim pada Indonesia kembali diperlihatkan dengan rela hidup di bawah kamp darurat dan resettlement (pemukiman kembali) dengan penuh kemiskinan. Bagi mereka, tegasnya, baik atau tidak baik, Indonesia lebih baik! Untuk itu siapapun yang terbukti memfitnah martabat Indonesia maka yang bersangkutan akan berhadapan dengan eks pengungsi Timtim. Dia mengatakan, banyak orang merasa prihatin dengan kehidupan eks pengungsi Timtim. Mereka tidak puas melihat eks pengungsi hidup dalam kemiskinan karena itu mereka pun ingin memindahkan para penghuni kamp darurat dan resettlement ini keluar dari wilayah Timor bagian Barat, NTT. Pemikiran seperti ini, menurutnya, bertolak belakang dengan semangat hidup eks pengungsi Timtim. Meskipun tinggal di kamp dan resettlement penuh derita, namun tetap bertahan karena kecintaan pada Indonesia. Eks pengungsi Timtim, lanjut dia, merasa tersinggung ketika tiga warga mereka ditembak polisi dari negara lain. Hal ini memalukan bangsa Indonesia dan karena itu, eks pengungsi ingin melakukan tindakan pembalasan, namun masih mau mendengar pemimpin yang tidak ingin terjadi pertumpahan darah di wilayah perbatasan. Demi menjaga martabat bangsa di mata masyarakat antarbangsa, pihaknya mendukung investigasi bersama Indonesia dan Timtim untuk mengetahui motif di balik penembakan tiga warga eks pengungsi Timtim itu. "Kiranya tindakan brutal polisi Timtim pada 6 Januari lalu tidak terulang lagi karena bagaimanapun juga eks pengungsi memiliki batas-batas kesabaran,"katanya. Hadir pada kesempatan jumpa pers itu, Ketua Forum Pejuang eks Timor Timur (FPTT) Eurico Guterres, Ketua Front Persatuan Bangsa Indonesia (FPBI) Renny Djajoesman serta sejumlah tokoh eks pengungsi Timtim yang sejak September 1999 bermukim di Kabupaten Belu dan Timor Tengah Utara.(*)
Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2006