Mataram (ANTARA News) - Jaksa Agung Basrief Arief membantah sinyalemen yang dimunculkan Indonesia Corruption Watch tentang dugaan korupsi dalam pengadaan 100 unit kendaraan tahanan Kejaksaan Agung pada tahun 2009.

"Saya kira tidak demikian, ICW sudah ketemu saya kemarin, saya sudah klarifikasi bahwa itu kan temuan BPK," kata Basrief, ketika dikonfirmasi wartawan saat ia berkunjung ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) Nusa Tenggara Barat (NTB), di Mataram, Kamis.

Ia mengatakan, sesuai ketentuan setiap temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) harus diberi tanggapan dalam kurun waktu 60 hari.

Terkait temuan BPK terhadap pengadaan 100 unit kendaraan tahanan itu, Kejaksaan Agung sudah memberikan tanggapan kepada BPK.

"Itu 2009 dan dalam kurun waktu yang sudah disediakan, kita memberikan tanggapan kepada BPK dalam tahun 2010 dan tanggapan itu diterima," ujarnya.

Ditanya apakah mungkin ICW salah paham dalam menerjemahkan temuan BPK itu, Basrief mengatakan, Indonesia Corruption Watch (ICW) bukan salah paham, tetapi hanya membaca temuan BPK.

"ICW sendiri sudah ketemu saya dan saya klarifikasi. Itu yang sudah kita jelaskan," ujarnya.

Menurut dia, pengadaan kendaraan tahanan berbeda dengan kendaraan jenis lainnya seperti pembelian mobil Kijang biasa yang tidah harus dimodifikasi, karena kendaraan tahanan harus dimodifikasi.

"Itu kan ada modifikasi, mobil tahanan itu tidak seperti beli mobil kijang lalu selesai sampai di situ, karena harus dimofifikasi. Kalau chasis kosong iya, tapi chasisnya dibentuk harus ada kerangkengnya," ujarnya.

Pada Rabu (15/6), ICW merilis adanya dugaan korupsi dalam pengadaan 100 unit kendaraan tahanan Kejaksaan Agung pada tahun 2009, dengan modus penunjukkan langsung dan penggelembungan harga kendaraan tahanan sebesar Rp1,3 miliar.

Anggota Badan Pekerja ICW Emerson Yuntho, mengatakan, menurut Laporan BPK tentang Hasil Pemeriksaan Keuangan Kejaksaan Agung 2009 melalui Surat Nomor: 31a/HP/XIV/05/2010 tertanggal 10 Mei 2010, menunjukkan adanya sejumlah indikasi korupsi di lingkungan Kejaksaan yang penting untuk ditindaklanjuti.

"Salah satu indikasi korupsi itu adalah dugaan penggelembungan harga kendaraan tahanan hingga sebesar Rp 1.301.425.000. Penggelembungan itu diduga terjadi dalam pengadaan kendaraan tahanan sebanyak 100 unit untuk Kejaksaan Tinggi, Kejaksaan Negeri, dan Cabang Kejaksaan Negeri pada tahun 2009 oleh Biro Perencanaan Kejagung," ujarnya.

Emerson menjelaskan, proses lelang untuk pengadaan kendaraan tahanan itu dilakukan melalui penunjukkan langsung kepada PT Astra Internasional Tbk sebagai pemegang merk Toyota.

Kendaraan yang dibeli adalah chasis Toyota Kijang Dyna Rino 4 ban ukuran kecil sebanyak 38 unit, chasis Toyota Kijang Dyna Rino 4 ban ukuran sedang sebanyak 50 unit, dan chasis Toyota Kijang Dyna Rino 4 ban ukuran besar sebanyak 12 unit.

Pengadaan kendaraan tahanan itu dituangkan dalam surat perjanjian atau kontrak pengadaan kendaraan tahanan Kejagung tahun 2009 Nomor: SP-02/PKLPH/7/2009 tanggal 1 Juni 2009 senilai Rp 29,42 miliar. Pengadaan itu dilakukan dalam jangka pelaksanaan pekerjaan selama 168 hari, terhitung sejak 1 Juli 2009 sampai 15 Desember 2009.

Diketahui juga bahwa pelaksanaan pekerjaan itu telah selesai dan diserahterimakan pada 11 Desember 2009 dan telah dibayar lunas. Namun, kemudian terdapat penambahan jumlah kendaraan tahanan sebanyak 6 unit, yang terdiri dari chasis Toyota Dyna Rino 4 ban ukuran kecil sebanyak 4 unit dan ukuran sedang sebanyak 2 unit.

Dengan demikian, pada 3 Desember 2009 dilakukan kontrak lanjutan senilai Rp 1,62 miliar. Kontrak itu memiliki jangka waktu pelaksanaan selama 28 hari, terhitung sejak 3 Desember 2009 sampai 30 Desember 2009.

"Namun, hasil pengecekan kepada pihak Toyota Astra Internasional menunjukkan bahwa harga chasis kendaraan dalam kontak lebih tinggi sebesar Rp 1.301.425.000 apabila dibandingkan dengan harga kendaraan on the road plat hitam untuk bulan April 2009, setelah dikurangi Bea Balik Nama (BBN) sebesar 12,5 persen, karena untuk kendaraan pemerintahan tidak dikenakan BBN," ujarnya.

(A058/M025)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2011