Jakarta (ANTARA News) - Anggota Komisi II DPR RI Agun Gunanjar Sudarsa menyatakan, kasus dugaan penggelapan dan pemalsuan surat MK oleh mantan anggota KPU Andi Nurpati sebaiknya dituntaskan secara hukum.

"Golkar ingin kasus itu dituntaskan secara hukum, bukan dengan politik," kata Agun di Gedung DPR RI, Jakarta, Kamis.

Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD kembali melaporkan kepada Kapolri Jenderal Timur Pradopo adanya dugaan pemalsuan dan penggelapan surat MK yang dilakukan oleh mantan anggota KPU Andi Nurpati.

Surat laporan bernomor 080/PAN.MK/VI/2011 tertanggal 14 Juni 2011 yang didapatkan antaranews.com itu menegaskan kronologi kejadian pemalsuan dan penggelapan surat MK tersebut.

  1. Tanggal 14 Agustus 2009 KPU mengirim surat bernomor 1351/KPU/VIII/2009 ke MK yang intinya meminta penjelasan mengenai amar putusan MK No 84/PHPU.C/VII/2009 terkait dengan hasil Pemilu Legislatif Dapil I Sulawesi Selatan I tahun 2009 sepanjang Kab Gowa, Kab Takalar dan Kab Janeponto.
  2. Pada tanggal 17 Agustus 2009 MK mengirim surat balasan kepada KPU dengan surat bernomor 112/PAN.MK/VIII/2009 yang pada pokoknya menegaskan bahwa terjadi perubahan suara di tiga kabupaten tersebut (artinya bukan penambahan suara). Surat MK tanggal 17 Agustus 2009 itu diserahkan kepada Andi Nurpati di kompleks Studio Jak-TV sesuai dengan pesan Andi Nurpati sendiri agar surat itu diantarkan sendiri ke sana. Saat itu Andi Nurpati meminta surat MK segera diserahkan karena diperlukan oleh KPU untuk menetapkan caleg terpilih. Pada saat itu MK juga menyerahkan surat lain ke KPU yaitu surat No 113/PAN.MK/VIII/2009 yang juga diterima satu paket oleh Andi Nurpati. Andi Nurpati menerima sendiri surat tersebut namun meminta sopirnya untuk menandatangani tanda terimanya.
  3. Ternyata pada penetapan caleg terpilih yang dituangkan dalam keputusan KPU No 379/Kpts/KPU/Tahun 2009 tanggal 2 September 2009 surat MK tertanggal 17 Agustus 2009 tidak dipergunakan dalam rapat KPU, tetapi sebaliknya KPU dalam rapat yang dipimpin Andi Nurpati itu malah menggunakan surat tanggal 14 Agustus 2009 dengan nomor surat yang sama (No 112/PAN.MK/VIII/2009 yang katanya diterima oleh MK melalui faks. Tetapi surat tanggal 14 Agustus 2009 itu ternyata palsu karena nomor faks MK tersebut sudah tidak aktif.
  4. Melalui pihak Bawaslu pada saat itu Bawaslu sudah menyatakan keberatan atas penggunaan surat melalui faks bertanggal 14 Agustus 2009 itu oleh KPU, tetapi Andi Nurpati yang memimpin rapat saat itu tetap menggunakan surat yang masih bertanggal 14 Agustus 2009 itu, sedangkan keberatan Bawaslu tidak dicantumkan di dalam risalah sidang.
  5. Berdasarkan Surat Keputusan KPU No 379/Kpts/KPU/Tahun 2009 itu telah menetapkan caleg dari Hanura Dewi Yasin Limpo dinyatakan terpilih sebagai anggota DPR RI dari dapil I Sulsel, padahal menurut vonis MK No 84/PHPU.C/VII/2009 yang terpilih untuk dapil tersebut adalah caleg dari Gerindra. Oleh sebab itu, tanggal 11 September 2009 MK mengirim surat MK 138/PAN.MK/VIII/2009 yang berisi penegasan bahwa surat tanggal 14 Agustus 2009 tak pernah dikeluarkan oleh MK (palsu). Yang benar adalah surat tanggal 17 Agustus 2009 yang telah diserahkan langsung kepada Andi Nurpati. Berdasarkan surat MK tanggal 11 September 2009 itulah kemudian KPU merevisi atau membatalkan keterpilihan Dewi Yasin Limpo.
  6. Pada pertemuan Pimpinan MK dan Komisioner KPU tanggal 20 Oktober 2009, pimpinan MK menanyakan kepada KPU mengapa KPU tidak menjadikan surat MK tanggal 17 Agustus 2009 sebagai dasar pengambilan keputusan, tapi malah sebaliknya menggunakan surat palsu yang dikirim melalui faks yang tidak jelas. Pada saat itu Andi Nurpati menjelaskan bahwa surat tanggal 17 Agustus 2009 itu tidak ada stempel dan surat itu tidak pernah dikembalikan ke MK sampai hari ini. "Adalah tidak masuk akal, ada surat yang diterima langsung tapi tidak dipakai dengan alasan tidak ada stempel, sementara ada surat yang hanya diterima melalui faks langsung dipergunakan, apalagi kemudian terbukti nomor faks yang diklaim dari MK menurut PT Telkom tidak aktif," kata Mahfud.
  7. Berdasarkan informasi. KPU menggunakan surat tanggal 14 Agustus 2009 yang diterima melalui faks dari MK dengan nomor 021-3800239 sudah tidak aktif sejak Juli 2009 sesuai dengan permintaan MK.
  8. "Masalahnya, tinggal dicek di KPU tentang nomor faks tersebut, jam berapa dan kapan. Dari sana akan diketahui dengan mudah, cepat, apakah surat tersebut benar-benar dikirim/diterima melalui faks ataukah dari tangan ke tangan," kata Mahfud.
Sementara itu, berdasarkan informasi yang dihimpun antaranews.com, KPU membuat Peraturan KPU No 75/2009 tentang Tata Cara Penghapusan Perlengkapan Pemungutan dan Penghitungan Suara serta Dukungan Perlengkapan Lainnya Sebagai Barang Milik Negara di KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota dan Panitia Pemilihan Luar Negeri Dalam Pemilu. Peraturan KPU itu disahkan tanggal 8 Desember 2009.

Pada pasal 6 Peraturan KPU 75/2009 berbunyi: Mekanisme penghapusan barang sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dilakukan dengan cara :

  1. KPU mengeluarkan izin penghapusan Barang Milik Negara untuk naskah dinas dan bukan naskah dinas yaitu surat suara dan rormulir yang digunakan dan yang tidak digunakan dalam penyelenggaraan Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden;
  2. Penghapusan Barang Milik Negara untuk naskah dinas, atau surat suara dan formulir yang digunakan sebagaimana dimaksud huruf a, KPU terlebih dahulu harus memperoleh persetujuan dari Kepala ANRI;
  3. KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah dalam melaksanakan penghapusan Barang Milik Daerah untuk naskah dinas dan bukan naskah dinas, atau surat suara dan formulir yang digunakan dan yang tidak digunakan dalam penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah;
  4. Penghapusan Barang Milik Daerah untuk naskah dinas, atau surat suara dan formulir yang digunakan sebagaimana dilaksanakan huruf c, terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari Kepala ANRI atau Kepala Arsip Daerah yang bersangkutan
Peraturan KPU 75/2009 direvisi menjadi Peraturan KPU 19/2010.
(zul)

Pewarta: Zul Sikumbang
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2011