"Gamolan berasal dari kata `begamol` yang dalam bahasa Lampung sama dengan kata `begumul` dalam bahasa Melayu yang artinya berkumpul," terang dia di Blambanganumpu, Waykanan, Kamis.
Penduduk yang tinggal di kebun-kebun dan di lereng-lereng gunung pada zaman dahulu, sambung dia, telah mempunyai sumber bunyi yang terbuat dari kayu atau bambu dan pada awalnya hanya merupakan alat yang berfungsi sebagai simbol pemberitahuan atau pengumuman.
Delapan lempengan bambu pada gamolan diikat secara bersambungan dengan tali rotan yang disusupkan melalui sebuah lubang yang ada di setiap lempengan dan disimpul di bagian teratas lempeng.
"Penyangga yang tergantung bebas di atas wadah kayu memberikan resonansi ketika lempeng bambunya dipukul oleh sepasang tongkat kayu yang ujungnya ialah buah pinang," kata dia.
Secara usia, terus Hasyimkan, gamolan lebih dari usia Candi Borobudur yang ada di Magelang, Jawa Tengah.
"Penelitian saya, di bagian Candi Borobudur yang dibangun abad ke-8 pada masa Dinasti Syailendra terdapat relief gamolan, artinya dan secara logika, sebelum ada Borobudur sudah ada alat tersebut," papar dia.
Namun, kata dia menambahkan, dengan merujuk teori perpindahan bangsa-bangsa, alat musik gamolan adalah perpaduan antara musik India dan China yang diakulturasi oleh warga lokal Lampung menjadi instrumen musik tradisional masyarakat Lampung.
"Gamolan dan gamelan memiliki nama yang nyaris mirip tetapi berbeda. Tangga nada gamolan Lampung berdasarkan arkeologi atau instrumen ialah do re mi so la si do. Sementara gamelan Jawa Slendro berdasarkan Andersen Sutton ialah do re mi so la si," kata dia menerangkan.
Jadi, kata dia menegaskan, barang siapa mengganti nama gamolan menjadi nama lain, maka sama saja orang tersebut telah memenggal kenyataan dan sejarah yang ada di nusantara.(*)
(T.T013/M020)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011