Denpasar (ANTARA News) - Anand Krisna dalam persidangannya yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu, mempertanyakan kejanggalan kasusnya menyusul terjadinya pergantian hakim Hari Sasangka oleh Albertina Ho.
Dalam siaran persnya di Jakarta, Kamis, disebutkan bahwa pergantian hakim yang terjadi secara mendadak itu, mengindikasikan adanya kejanggalan atau suatu konspirasi di balik kasus yang membelenggu Anand Krisna.
Hakim Hari Sasangka diganti karena diduga mempunyai hubungan khusus dengan Shinta Kencana, saksi dalam kasus Anand Krisna. Kasus hakim Hari Sasangka ini telah dilaporkan ke Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung,
Disebutkan bahwa berbagai gabungan komponen masyarakat seperti Komunitas Pencinta Anand Ashram, United Voice of Bali, Persatuan Dewan Pasraman, dan berbagai tokoh masyarakat serta tokoh agama, sejak jauh hari sebelumnya menyelenggarakan berbagai aksi damai untuk kebebasan Anand Krishna.
Hal itu dilakukan, karena dari awal proses hukum kasus Anand Krishna tersebut mereka yakin ada unsur rekayasa guna membungkam pemikiran-pemikiran nasionalis dan humanis tokoh spiritual yang telah mendunia ini.
Dalam persidangan tersebut, penasihat hukum Anand Krishna juga mengeluhkan kebiasaan Jaksa Penuntut Umum yang selalu terlambat dalam menghadiri sidang-sidang tanpa memberitahu alasannya. Karena itu, Hakim ketua meminta sidang berikutnya agar tidak ada pihak yang terlambat.
Hakim Abertina Ho juga memberikan kesempatan kepada Anand Krishna untuk menyampaikan pembelaannya.
Beberapa hal disampaikan Anand Krishna menyangkut banyak kejanggalan yang membuat dia sangat bingung selama persidangan berlangsung sejak Agustus 2010. Hal itu di antaranya disebabkan sejak Hari Sasangka menjadi ketua majelis hakim, mengajukan sejumlah pertanyaan yang dinilai tidak terkait dakwaan.
Di antaranya pertanyaan terkait pemikiran, kegiatan dan karya-karya Anand Krishna, seorang saksi di ruang sidang dibiarkan mengancam dan mengeluarkan kata-kata untuk membunuh terdakwa. Hal itu semestinya dikenakan pasal penghinaan terhadap majelis.
Kemudian beberapa saksi korban dibiarkan duduk di dalam ruang sidang, padahal mereka bukanlah saksi pelapor. Sedangkan saksi pelapor hanya hadir dua-tiga kali selama persidangan berlangsung.
Seorang saksi yang hadir di dalam ruang sidang juga bisa menginterupsi hakim ketua dan bahkan menyodorkan apa yang dianggapnya "barang bukti", padahal apa yang disampaikan tidak terkait dengan dakwaan.
"Saya juga tidak tahu apakah lazim bila tiba-tiba ada sesuatu yang dianggap sebagai barang bukti, padahal tidak tercantum dalam daftar barang bukti yang disita," demikian pesan yang disampaikan Anand Krishna.
Dia juga mempertanyakan, apakah asas praduga tidak bersalah masih berlaku atau tidak. Hal itu mengingat Anand Krishna ditahan sesaat sebelum para saksi ahli hadir untuk memberi keterangan.
Terdakwa juga mempertanyakan, kondisi kesehatannya sudah dinyatakan stabil pada saat masih dalam kondisi diinfus dalam perawatan di rumah sakit. "karena ditafsirkan sehat, kemudian infusnya dilepas dan saya dikirimkan kembali ke Rumah Tahanan," katanya dalam pernyataan tertulis.
Akibat tindakan paksa itu, dalam kurun waktu kurang dari 48 jam, kadar gula Anand Krishna turun drastis dari 128 menjadi 64, berdasarkan pemeriksaan di RS Polri. "Majelis yang Mulia, saya tidak tahu apakah ini merupakan pelanggaran HAM? Bila ya, pelanggaran berat, ringan, atau bagaimana?" ucapnya.
Berdasarkan catatan medis, kadar gula di bawah 70 bisa menyebabkan seorang kolaps, pingsan dan masuk kondisi koma, yang memungkinkan terjadinya keadaan fatal. Padahal Anand Krishna menderita diabetes dan biasanya kadar gulanya hampir 150 walaupun setiap hari sudah menggunakan obat.
Dia juga mempertanyakan izin dari majelis hakim membutuhkan waktu lebih dari dua minggu, padahal saat itu terdakwa sudah diindikasikan mengalami stroke ringan dan penyempitan otak kanan yang terjadi dalam kurun waktu 48 jam. Sementara RS Polri saat itu sudah merujuk Anand Krishna ke rumah sakit lain untuk pemeriksaan lebih lanjut dengan MRI.
Selain mempertanyakan terkait pelanggaran HAM tersebut, terdakwa juga merasa heran, di dalam ruang sidang yang mulia mengeluarkan kata-kata yang tidak sepatutnya, seperti menyebut "orang ini aneh" dan mengatakan "menjijikkan".
Lebih jauh Anand Krishna menyampaikankan bahwa kejanggalan-kejanggalan itu hanya sebagian kecil dari berbagai hal yang dianggapnya tidak wajar, seperti para saksi yang mendukung saksi pelapor, melakukan kegiatan untuk mencari dukungan sebelum melaporkannya ke polisi.
"Sebab itu, kiranya wajar bila timbul dugaan bahwasannya notula yang disiapkan hakim Hari Sasangka selama ini bersifat tendensius dan mengabaikan fakta persidangan," demikian Anand Krishna.
(*)
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2011