Dalam menciptakan karya seni lukis itu sangat tergantung dari batas kemampuan vitalisme untuk mengungkapkan sesuatu ke dalam media kanvas.

Denpasar (ANTARA News) - Drs I Wayan Mudana MPar, pengamat seni lukis asal Bali, menilai perkembangan kreatif seni lukis sangat tergantung dari jiwa, dedikasi dan vitalisme seniman bersangkutan dalam menekuni proses karya seni.

"Dalam menciptakan karya seni lukis itu sangat tergantung dari batas kemampuan vitalisme untuk mengungkapkan sesuatu ke dalam media kanvas," kata Wayan Mudana yang juga dosen Seni Murni Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, Rabu.

Ia mengatakan, selain itu karya seni juga dipengaruhi segi-segi psikologis lain yang sangat konpleks, karena sebuah lukisan megandung kompleksitas kehidupan jiwa seniman secara total.

Kebutuhan kreatif tersebut berkembang dalam proses penciptaan seuah karya seni, yang akan diakhiri dengan apa yang disebut kepuasan kreatif.

Kepuasan kreatif merupakan tanda rampungnya sebuah karya di atas kanvas bagi seorang pelukis. "Kepuasan kreatif diibaratkan sebagai muara di lautan, dari sebuah sungai yan berliku-liku panjang meliuk-liuk di sepanjang dataran dan bukit yang berasal dari sebuah mata air di puncak bukit yang disebut kebutuhan kreatif," tutur Wayan Mudana.

Demikian pula sebuah lukisan bermula dari kebutuhan kreatif dan berakhir dalam keputusan kreatif, yakni proses penciptaan yang disebut sebagai karakterisasi .

Namun demikian dalam penjiwaan sebuah lukisan, seorang akan tumbuh berkembang sesuai dengan kematangan jiwa seniman bersangkutan atau selaras dengan kompleks jiwanya.

Menurut Mudana, corak penjiwaan dalam proses penciptaan akan menempatkan setiap karya seni pada bentuknya yang bertentangan. yaitu vibrasi garbo dan vibrasi vitae.

Vibrasi garbo merupakan karya-karya yang dilahirkan secara inspiratif dan diciptakan dengan kecermatan teknis yang sempurna, sehingga keindahan visual mejadi tujuan utama bisa menggetarkan pesona secara mendadak.

Untuk itu seluruh elemen, warna, garis, ruang dan bentuk mendapat pengamatan secara sungguh-sungguh, hingga struktur yang membentuknya,

Demikian pula anatomi, dan proprsi diolah sampai tidak ada celanya, sehingga proses kreatif itu akan menjadi lebih lama. Akurasi demikian akan menyebabkan hilangnya spontanitas.

Hal itu penting karena spontanitas dinilai sebagai gejala emosi yang masih mentah serta belum mengalami pengendapan. Dengan demikian puncak dramatiknya akan diperoleh dalam dasar statisme yang mengendap pada statisme vitalnya, ujar Wayan Mudana.

(T.I006/B/P004/P004) (ANTARA)

Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2011